• perawat hitam manis


    Aku, Wawan, adalah seorang dokter yang beberapa tahun yang lalu pernah bekerja di puskesmas kecil di suatu kecamatan di Jawa beberapa kilometer dari kota S. Ketika bekerja menjadi dokter puskesmas itu lah aku terlibat perselingkuhan dengan perawat anak buahku sendiri di puskesmas itu. Waktu itu aku masih muda (sekitar 27 tahun), kata orang wajahku cakep dan macho, sedang perawatku itu hitam manis terpaut sekitar 5 tahun lebih muda dariku. Aku sendiri saat itu sudah berkeluarga beranak satu berumur 2 tahun, demikian pula perawatku yang bernama Narsih sudah bersuami tetapi belum punya momongan.
    Ceritanya begini.
    Pada saat pertama kali datang melihat puskesmas tempat aku akan berdinas selama 5 tahun yang terletak di suatu kecamatan yang lumayan jauh dari kota kabupaten, aku datang sendirian. Di sana aku ditemui oleh seorang perawat wanita yang sudah bekerja di sana selama tiga tahun semenjak puskesmas itu selesai dibangun.
    “Narsih”, begitu dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Dalam hatiku, “Aduh, manis betul perawat ini”.
    Sambil bertanya tentang berbagai hal, yang menyangkut kunjungan pasien, tentang pelaksanaan program kesehatan yang selama ini dikerjakan olehnya (selama ini puskesmas dipimpin olehnya yang merupakan satu-satunya perawat dengan dibantu oleh 2 orang petugas lain), tentang keadaan masyarakat sekitar puskesmas, dll, aku tak puas-puasnya memandangi wajahnya yang manis itu. Sebaliknya, si manis ini juga sering dengan berani menatapku balik sambil senyum agak menantang. Pikirku, “Gawat juga anak ini”, kelihatannya dia sangat tertarik secara seksual padaku.
    Dia cerita kalau sudah menikah selama 2 tahun dan belum berhasil hamil juga. Aku bilang dengan sedikit menggoda: “Wah, jangan-jangan suamimu kurang hebat caranya. Kapan-kapan saya ajari ya”.
    “Ya dok, tapi jangan suami saya saja yang diajari, saya juga dong”, ujarnya.
    Beberapa minggu kemudian, aku benar-benar sudah berdinas di puskesmas ini. Aku tinggal di rumah dinas di samping kantor yang masih satu kompleks dengan puskesmas, demikian pula Narsih tinggal di rumah dinas pada kompleks yang sama tetapi di sisi lainnya. Istriku dari pagi sampai menjelang sore pergi ke kota S untuk bekerja. Jadi sesiangan rumahku nyaris kosong.
    Pada hari pertama, aku mengajak Narsih berboncengan memakai motor ke desa-desa tempat wilayah kerjaku untuk orientasi dan berkenalan dengan beberapa kepala desa yang kebetulan dilewati.
    Perjalanan melalui jalan yang sebagian besar masih berupa tanah yang dikeraskan, dan di beberapa tempat berupa batu “makadam” yang bergelombang. Tangan Narsih yang kubonceng di belakangku berkali-kali memegang paha atau pinggangku karena takut terjatuh. Aku senang bukan main sambil berdebar. Berkali-kali pula buah dadanya yang tidak terlalu besar tetapi kenyal itu menyenggol di punggungku. Rupanya dia juga tak sungkan-sungkan untuk menempelkannya. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku meramal bahwa Narsih suatu saat pasti bisa kuajak bergelut bugil di tempat tidur.
    Tubuh Narsih cukupan, tingginya sekitar 160 cm, badannya langsing, kakinya mempunyai bulu-bulu yang cukup merangsang lelaki, walau pun kulitnya sedikit gelap. Wajahnya manis mirip Tony Braxton, si penyanyi negro itu. Buah dada tidak besar, yah kira-kira setangkupan telapak tanganku. Itu pun kukira-kira saja, karena di waktu dinas tubuhnya di balut seragam dinas Pemda. Rambutnya sebahu. Yang jelas, wajahnya manis, seksi dan senyumnya menggoda.
    Dalam perjalanan berboncengan Narsih menceritakan perjalanan hidupnya sejak lulus sekolah dan langsung ditempatkan di puskesmas ini. Di sini mula-mula dia tinggal bersama adik ceweknya yang sekolahnya dibiayainya. Dia sempat berpacaran dengan seorang pemuda yang tinggal di depan rumah dinasnya, tetapi akhirnya justru tetangga lainnya yang memintanya untuk dijadikan menantu. Akhirnya permintaan belakangan itulah yang dipenuhinya sehingga Narsih dinikahi oleh seorang pemuda putra seorang tokoh masyarakat desa (tetangga dekat tadi) dan cukup berada, tanpa melalui proses pacaran.
    Narsih rupanya selama itu menjadi “bunga” di desa tempat puskesmas berada. Dia menjadi inceran banyak pemuda desa situ, juga orangtua-orangtua yang menginginkannya menjadi menantunya.
    Tanpa sengaja, ketika Narsih sedang asyik bercerita, motor saya melawati lubang yang cukup membuat motor bergoyang keras, dan bibir Narsih sempat menempel di leherku bagian belakang (aku sedikit geli, tetapi tentu senang dong) dan krah bajuku terkena warna merah lipstiknya. Dia segera membersihkan krah tersebut, kawatir dicurigai istriku macam-macam. Tapi aku tenang saja, bahkan aku bilang: “Nggak apa-apa koq, ditempeli sekali lagi juga nggak apa-apa, apalagi kalau nggak cuma di krah baju”. “Ih, pak Wawan macam-macam …, nanti dimarahi ibu lho.”, katanya agak genit.
    Beberapa minggu kemudian nggak ada kejadian istimewa, sampai suatu hari Narsih sakit diare dan nggak bisa masuk kantor. Pembantunya menyusul ke puskesmas, dititipi pesan agar kalau saya sudah tidak terlalu sibuk bisa menengok dirinya, mungkin bisa memberi advis mengenai pengobatannya.
    Setelah pasien sepi dan tak ada pekerjaan kantor yang berarti, aku menjenguknya ke rumahnya, dan diminta masuk kamar tidurnya. Waktu itu suaminya nggak ada di rumah, karena sehari-hari suaminya bekerja di suatu pabrik di kecamatan sebelah. Aku melihat dia berbaring di ranjang, walau pun sedang sakit, tetapi kulihat wajah dan tubuhnya justru makin merangsang dibalut baju tidur yang cukup seksi.
    Kawatir aku nggak bisa menahan diri di kamarnya, aku segera minta padanya, kalau masih bisa jalan (aku lihat sakitnya biasa saja), untuk pergi ke rumahku setelah jam kantor minta diantar pembantu. Toh, jaraknya cukup dekat. Sementara itu dia kuberi obat seperlunya.
    Sepulang kantor, Narsih datang ke rumah diantar pembantu, kemudian pembantunya disuruhnya pulang duluan, sehingga aku dan dia tinggal sendirian di rumahku. Pembantuku (suami-istri) kalau siang seusai bekerja pulang ke rumahnya dan petangnya kembali lagi, sebab mereka adalah penduduk desa setempat.
    Narsih kusuruh masuk ke kamar periksa, kemudian kuminta berbaring di tempat tidur periksa. Aku memasang stetoskop, dan kuminta dia untuk membuka sebagian kancing atasnya (Narsih memakai pakaian rok dan kemeja blues yang dikeluarkan). Aku mula-mula serius memeriksa dadanya dengan stetoskop, tetapi begitu melihat sembulan buahdadanya yang nggak besar di balik BHnya, aku tiba-tiba berdebar dan bergetar. Aku nggak pernah bergetar bila memeriksa pasien wanita lain, tetapi menghadapi Narsih koq lain.
    Dengan spontan tanpa meminta ijin dari empunya, buahdadanya kuraba halus dari luar dan kuelus-elus. Narsih tak membuat gerakan penolakan, matanya justru terpejam sekan menikmati. Seluruh kancing bluesnya langsung kucopoti, sehingga BH Narsih itu terlihat bebas menantang.
    Bibirnya kukulum dengan cepat, sambil tanganku masih mengelus-elus buahdadanya dari luar BH nya yang belum kulepas. Seperti yang sudah kuduga, kuluman bibirku disambutnya dengan ciumannya yang lembut tapi hebat. Lidahku kujulurkan dalam-dalam ke langit-langit mulutnya, sebaliknya lidahnya segera membalas dengan memilin lidahku. Aku melihat Narsih terengah-engah menahan emosinya, sambil mengerang: “Ssssh, pak Wawan, pak, ah … argghhh … ssshhh”.
    Tanpa menunggu lama, sambil Narsih masih tetap terbaring dan mulutnya masih kubungkam dengan bibirku, cup BH nya kuangkat ke atas tanpa kucopot kancingnya terlebih dulu. Susunya langsung tersembul keluar dengan indahnya. Benar dugaanku susunya tak besar, tetapi bagus dan kencang dengan puting susu kemerahan yang tak terlalu menonjol. Itulah susu Narsih yang sudah kubayangkan beberapa lama dan ingin kukulum. Itulah sepasang buah dada Narsih yang masih kenyal belum sempat mengeluarkan ASI karena belum sempat hamil.
    Tangan kananku segera meraba-raba pentilnya bergantian kanan dan kiri dengan gerakan memutar yang halus. Narsih makin menggigil dan tambah mengerang: “Paaak, Narsih malu paak … ssshhh aargghhh … ssshh …”. Aku terus menjilati bibir dan wajahnya sambil berdiri, dan tanganku memijat-mijat susunya yang ranum. Tangan Narsih merangkul leherku, matanya berkejap-kejap, sambil mulutnya terus mendesah di tengah-tengah kuluman lidahku.
    Setelah puas menjilati wajah dan bibirnya, mulutku beralih ke leher dan belakang telinganya. Dia makin menggelinjang sambil setengah menegakkan kepalanya. Aku masih terus berdiri, stetoskopku sudah kulempar jauh-jauh. Segera kemudian, mulutku sudah berada di puting susu kirinya. Aku jilat sepuasnya. Dada Narsih menggeliat dan sekali-kali membusung, sehingga susunya makin terlihat indah dan menggairahkan. Desisan Narsih makin menghebat, “Aaarggghhh, paaaak, aku nggak tahan paaak …”. Tanganku pelan-pelan menelusuri pahanya yang mulus walau pun berkulit agak sedikit gelap. Tapi warna kulit seperti ini justru sangat merangsang diriku. kontol di balik celanaku sudah menegang sejak tadi ketika aku mulai pertama kali melihat BH nya. Aku mulai menelusuri pahanya pelan-pelan ke atas menuju selangkangannya di balik rok yang masih dipakainya, sambil aku masih terus menggelomohi kedua puting susunya. Kulirik wajah manis perawatku ini. Ah, betapa makin merangsangnya tampakan wajahnya, yang sambil sedikit merem-melek matanya menahan nafsu birahi, mulutnya mendesis mengerang terus menerus walau pun tidak dengan suara yang keras, “Aaarghh, paakk, aku … aku nggak tahan lagi paak.”
    Tetapi, begitu tanganku sampai di pinggir celana dalamnya, tiba-tiba dia tersadar dan langsung bilang, “Ah, pak, jangan sekarang pak ..”. Aku agak kaget, “Mengapa Sih? Aku sudah nggak tahan Sih, kepingin menelanjangi kamu.” Narsih menjawab: “Kapan-kapan pak untuk yang itu.”.
    Aku tak berani nekat meneruskan, tapi wajah, bibir, dan susunya masih terus kujilati bergantian.
    Aku berciuman seperti itu sambil pakaianku masih lengkap dan masih tetap berdiri, sedang Narsih sudah setengah bugil sambil tetap tergolek di ruang periksa, kurang lebih setengah jam. Akhirnya, karena aku kawatir kalau istriku datang dari kantor, maka perbuatan kami yang sudah kerasukan nafsu birahi yang menggelegak itu kuhentikan, dan Narsih kusuruh berpakaian kembali dan kuminta segera pulang. Aku sempat berciuman sekali lagi. Mesra, seperti sepasang kekasih yang baru dilanda asmara.
    Beberapa hari kemudian, setelah kantor tutup, Narsih yang sudah sembuh dari diarenya, kuminta datang ke rumah. Dia datang masih memakai seragam dinas. Demikian pula aku.
    Kusuruh dia duduk di sampingku di sofa ruang tamu. Ruang tamuku tetap kubiarkan terbuka pintunya, toh aku tetap bisa mengontrol situasi luar rumah dari kaca besar berkorden dari dalam. Orang luar tak bisa melihat ke dalam, sebab pencahayaan dari luar jauh lebih terang.
    Melihat situasi luar yang cukup aman, dan saat itu di rumah dinasku hanya ada aku dan Narsih, maka kuberanikan mencoba melanjutkan apa yang sudah kumulai beberapa hari sebelumnya.
    Narsih yang berada di samping kananku langsung kupeluk mesra, kuelus rambutnya dan kucium bibirnya dengan rasa sayang. Namun tanpa kuduga, dengan ganas (Narsih sepintas kuperkirakan adalah wanita yang hiperseks, dan di kemudian hari dia memang mengakuinya kalau dia nggak pernah puas ketika berhubungan seksual dengan suaminya, walau pun menurut ukurannya suaminya mempunyai kemampuan seksual yang sangat hebat), dia menyambut ciumanku dengan jilatan-jilatan lidahnya yang memilin-milin lidahku. Tangannya dengan berani meraba selangkanganku yang tertutup celana dinas dan meraba kontolku yang sudah menegang ketika mulai berciuman tadi. Kontolku dikocoknya dari luar dengan trampil dan membuatku keenakan (jujur saja, istriku tidak bisa seperti itu).
    Secara cepat dan trengginas, karena nafsu yang sudah berkobar-kobar, aku pun langsung membuka kancing seragam atasnya, dan dengan lahap kukeluarkan seluruh buah dadanya yang ranum dari cup BH tanpa membuka kancing yang terletak di belakangnya. Susunya langsung kuremas dengan lembut, pentilnya yang imut kupilin-pilin sampai menegang, dan aku terus menciumi bibir dan kadang menciumi wajah dan belakang telinganya. Narsih meregang, dan kali ini dia memanggilku tidak lagi pak atau dok, tetapi sudah berubah menjadi `papa?, “Ehmmpph, sshh … paaaaaah, aku sayang kamu paaah, Narsih sayang papaaah … aaarghh ….”.
    Aku pun berganti menjawab sekenanya dan seberaninya, “Aku juga sayang Narsih, bener aku sayang kamu, hari ini aku ingin memasukkan kontolku ke tubuhmu, sayang, boleh?”
    Narsih langsung menjawab, “Boleh yaaaang, boleh … arrghhh … sshhshh … cepatan ya yaaaang … aaaargrhhh ….”.
    Mendengar jawaban itu, tanpa ragu, aku segera memasukkan jari kedua tanganku ke selangkangannya yang masih tertutup seragam dinas, dan dengan bernafsu kucari celana dalamnya, dan begitu ketemu, tanpa ba-bi-bu lagi langsung kupelorot dan kusimpan di saku celanaku. Demikian pula Narsih, dengan terengah-engah, langsung dia membuka resleting celanaku dengan sebelumnya melepaskan ikat pinggangku yang kemudian dia lempar jauh-jauh, dan tangannya dengan cepat menyergap kontolku yang berukuran panjang 14 cm dengan diameter yang cukup besar. Aku ikut memelorotkan celanaku walau pun nggak sampai kulepas sama sekali. Tangannya dengan cekatan mengelus kontolku, mengocoknya, sembari tubuhnya menggelinjang karena jariku sudah mengelus tempik vaginanya yang basah. Sebagian jariku pelan-pelan kumasukkan ke dalam lubang tempiknya, dan kugeser-geser melingkari lubang sempit itu. Jempolku mencari kelentitnya, begitu ketemu kuelus dengan permukaan dalam jempol.
    “Ah, paaah, aku nggak tahan paaah … aggghhh, ….. paaaah …..eeennaaak paaah …”, dia mengerang setengah berteriak, tetapi mulutnya segera kubungkam dengan mulutku, kukulum agar suaranya tidak terdengar oleh orang-orang yang mungkin ada di luar, kemudian kujilati bibir dan seluruh permukaan wajahnya sampai basah terkena ludahku.
    Sambil setengah bergumul, mataku selalu waspada melihat keadaan luar rumah melalui kaca berkorden untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada orang yang mau masuk ke rumah. Karena situasi yang tidak terlalu aman itu, aku tidak berani melakukan adegan birahi kami ini dengan berbugil total..
    Tanpa menunggu lama lagi, karena darah birahi yang sudah sampai ke ubun-ubun, tubuh Narsih kutarik ke depan tubuhku, sambil dia tetap duduk menghadap ke depan membelakangiku, dan aku bersandar setengah duduk di sofa, dengan perlahan tapi pasti, rok bawahannya kusingkap dan kuangkat, pantatnya kupegang, selangkangannya yang sudah tak bercelana dalam kurenggangkan lebar-lebar, pahaku kurapatkan dengan kontol yang mengacung ke atas, kemudian tangan kiriku memegang kontol dan kubimbing masukkan ke vagina tempik (memek)-nya. Narsih ikut membantu memegang kontolku dengan tangan kanannya, dan perlahan-lahan pantatnya diturunkan ke bawah. Vaginanya terasa sempit juga (mungkin karena belum pernah melahirkan bayi), tetapi berkat bantuan lendir vaginanya yang sudah banyak, tanpa kesulitan yang cukup berarti kontolku akhirnya berhasil masuk juga ke sebagian vagina depannya. Narsih sambil menghadap ke depan terus mengerang, pantatnya mulai bergoyang-goyang, dinaik turunkan, agar kontolku bisa lebih masuk ke dalam.
    “Aduuuh paaaaah, enaaak paaaah …. Ssshhh … arggh , aaduuuh paaah …”, erangnya. Aku juga mulai mendesis merasakan enaknya tempik perawatku yang sangat manis dan hot ini, sambil benakku berseliweran membayangkan keberanianku menyetubuhi istri orang. Ah, persetan, salahnya punya istri manis disia-siakan, sehingga masih mencari memek atasannya. Betul-betul vagina yang nikmat, nggak salah aku ditempatkan di puskesmas ini, aku bisa menikmati sepuasnya vagina Narsih yang sedap. Kepunyaan istriku sendiri tidak senikmat ini.
    “Narsiiih, kamu memang enaak, Narsih …” begitu desisku.
    Sambil aku juga ikut menggerakkan pantatku naik turun seirama dengan naik turunnya pantat Narsih, aku mengocok kelentit Narsih yang ada di depan dengan tangan kananku. Tangan kiriku terus meraba habis susunya yang terasa kenyal di depan. Narsih makin menggelinjang seperti cacing kepanasan, karena kocokan jariku pada kelentitnya yang makin menonjol. Pantatnya makin dia goyangkan selain naik turun juga ke kanan kiri. Rasanya bukan main enak, tak terkirakan. Beginilah rupanya rasa tempik Narsihku, Narsihku yang bisa menggantikan tugas istriku di siang hari, Narsihku yang mempunyai gerakan tubuh yang hebat dan nikmat.
    “Siiiih, kamu sayang papa beneran nggak, aku eeennnaaaak Siiih ….!”
    “Aaaaduuuh paaaah, Narsih sayang paapaaaah, eennaaak juga aku paaaah, koq bisa enaaak gini ya paaaah? Aaaargghhhh ….. ssshh … arrrgggghhhhhhhhhhhhhhhh …. Paaaaah …”
    Aku makin cepatkan kocokanku naik turun, demikian pula Narsih, dia makin menggeliatkan tubuhnya ke sana kemari. Sayang, aku nggak bisa melihat tubuh indahnya sambil berbugil, karena situasinya yang tak memungkinkan.
    Tiba-tiba Narsih, setengah berteriak bergetar-getar tubuhnya, “Aaarghhh … paaah, aku nggak tahaaan paaaah, aku mau orgasme paaaaah, paaaaah …”. Aku sendiri hampir nggak tahan juga merasakan denyutan tempiknya yang asyik. Sekali lagi, betul-betul tempik yang enak dan nikmat
    “Nggak apa-apa Siiih, kalau mau orgasme, nggak usah ditahan Siiih, papa juga mau keluar, aarghhh …”.
    Gerakan kontolku makin kupercepat walau pun tidak terlalu bebas, karena posisiku yang di bawah, sambil tanganku mengocok susu dan bibir Narsih kucari dan kumasukkan jempolku ke mulutnya dan segera diempotnya seperti bayi sambil terus mendesah. Tak lama kemudian, Narsih mengejang, “Arrrggghhhhh paaaaaaaaah …. Arrrghhhhhh ……”, badannya bergetar, rupanya Narsih telah orgasme hebat. Kontolku terasa dijepit berdenyut-denyut. Karena proses orgasme tubuhnya menggeliat seksi ke belakang sehingga tampak makin menggairahkan.
    Pemandangan itu, walau cukup kulihat dari belakang, membuat aku juga sudah merasa nggak tahan lagi, geli hebat mulai terasa di ujung kontol yang masih berada di tempik Narsih. Goyanganku kupercepat lagi, Narsih kupeluk erat-erat, dan … “Aaaarhggggghhh … aku juga keluar Siiiih … eenaaaak Siiih …..”.
    Pantat Narsih kutarik keras-keras ke bawah agar seluruh kontolku terbenam di tempiknya, dan kusemprotkan keras-keras air maniku ke dalam vaginanya, sambil berharap agar ada spermatozoa yang bisa menyerbu ovumnya sehingga menghasilkan pembuahan, karena mendadak hari ini aku merasa mencintai Narsih, tidak sekedar mencari kepuasan seksual saja.
    “Ooooh paaaah, aku cinta kamu paaaah …., Narsih sayang kamu paaah. Aku kepingin anak dari kamu paaah …” kata Narsih sambil terus memutar-mutarkan dan menekan pantatnya menjadikan kontolku seperti diperas-peras isinya, dan beberapa kali menyemprotkan mani sampai ludas. “Aku juga sayang kamu, Narsih … kapan-kapan aku ingin mengajakmu main seks sambil betulan telanjang bulat, mau ya Siih …?”
    Narsih langsung menjawab dengan manja: “Tentu Narsih mau sekali paah, minggu depan ya paah, kita cari tempat enak untuk bikin anak yang nikmat ya paah?”
    Sambil tubuh Narsih masih terduduk di atasku yang juga separuh duduk, lehernya agak kuputar kesamping, dan bibirnya kucium sayang, mesra sekali, sementara kontolku masih tetap berada di dalam jepitan tempik-vaginanya yang masih juga terus berdenyut nikmat ….
    Setelah persetubuhanku yang pertama dengan Narsih perawatku, di hari-hari berikutnya di kantor setiap hari kami selalu menyempatkan berciuman dan bercumbu. Kadang-kadang kami melakukannya di gudang obat di siang hari menjelang puskesmas tutup, kalau pas semua petugas lainnya sudah pada pulang. Di gudang, aku melampiaskan nafsuku dengan menciuminya dan mengangkat rok seragam dinasnya, meremas susunya dengan sedikit membuka beberapa kancing kemeja, meraba tempik dan kelentitnya sampai Narsih menggelinjang panas, menggeser-geserkan kontolku ke tempiknya tanpa melepas celana dalam masing-masing, sampai kami berdua orgasme tanpa bersetubuh. Bagaimana pun, kami tak berani bersetubuh di kantor, sebab kawatir ketahuan orang.
    Pernah, ketika Narsih sedang merawat pasien, membersihkan luka ringan di kepala bagian belakang pasien (pasiennya menelungkup di tempat tidur periksa), aku masuk kamar, pintu kamar perawatan kukunci, kemudian Narsih kudekati dari belakang dan pelan-pelan kuciumi lehernya yang jenjang, roknya kusingkap ke atas sampai pantatnya jelas tampak terlihat indah, lalu celana dalamnya sedikit kupelorot, dan jariku kumasukkan ke sela-sela tempiknya. Kumainkan jariku di dalam tempiknya yang basah sambil sekali-kali kumanipulasi kelentitnya yang menegang, sampai Narsih menggelinjang kenikmatan dengan sedikit terengah-mendesah hampir tak terdengar “… Ssshhhhh …hhh” (berabe dong kalau pasien lelaki itu sampai mendengar desahan perawatnya) dan beberapa kali tangannya yang memakai sarung tangan plastik melepaskan kapas beralkohol atau Betadine yang digunakannya untuk membersihkan kepala pasien. Kemudian kontolku yang masih tertutup celana kugeser-geserkan ke sela-sela pantat Narsih yang celana dalamnya sudah kupelorot ke bawah tanpa kulepas. Sampai akhirnya aku orgasme keenakan setelah sekitar seperempat jam menggeserkannya ke pantat Narsih yang kenyal padat itu. Rupanya, dari raut wajah dan engahannya, walau aku tak tahu pasti, Narsih pun akhirnya orgasme karena kocokan jariku di dalam liang vagina dan kelentitnya itu.
    Perbuatanku merangsang Narsih dan diriku ketika sedang merawat pasien hanya sekali itu saja kulakukan, sebab selain aku takut ketahuan pasien atau orang lain (sebab di luar kamar periksa ada beberapa anak buahku, yang mungkin saja tiba-tiba ingin masuk), juga bisa mengganggu proses perawatan pasien.
    Seminggu setelah persetubuhanku yang pertama dengan Narsih, ketika itu hari Selasa (setiap minggu dua kali ada perawat wanita lain yang membantu datang ke puskesmasku, Selasa dan Kamis) aku janjian dengan Narsih untuk ketemu di suatu tempat di kota kabupaten, karena kebetulan aku saat itu mengurus sesuatu di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten. Hari itu aku ingin mengajak Narsih bergelut bugil total di suatu tempat yang aman.
    Setelah urusanku pagi itu di kantor dinkes selesai, aku langsung menuju ke tempat janjian dengan Narsih. Aku tunggu di mobil sekitar setengah jam, Narsih akhirnya memenuhi janjinya datang.
    “Siapa yang ada di puskesmas, Sih?”, tanyaku untuk memastikan bahwa ada petugas perawat yang tinggal di puskesmas, supaya tidak mengganggu pelayanan kesehatan. “Oh, ada mbak Amani yang tugas koq pa.”, jawabnya. Setelah memastikan semuanya beres, langung kutanya lagi Narsih: “Mau kamu kuajak ke S jalan-jalan?”. Jawab Narsih: “Mau pa. Tapi, ayo cepat, biar nggak kesorean pulangnya, sebab aku bilang kepada pembantu kalau aku pulang sebentar menengok ibuku”. Memang ibu Narsih bertempat tinggal di kabupaten yang sama, tetapi di kecamatan yang agak jauh dari rumah Narsih sekarang.
    Langsung mobilku kupacu cepat ke kota S, sebab saat itu sudah pukul setengah sepuluh pagi, dan kuperkirakan paling lambat pukul 4 sore sudah harus sampai kembali di rumah. Waktu itu aku belum tahu apakah di kota kabupaten ini ada hotel yang bisa dipakai kencan pendek atau tidak, makanya kuputuskan saja ke kota S, yang pasti ada tempat untuk begituan.
    Di tengah jalan, Narsih ingin berhenti untuk membeli celana dalam baru, aku juga nggak tahu apa alasannya membeli baru itu. Tapi nggak kupikirin. Perjalanan ke S kurang lebih 1 jam. Di tengah jalan kemeja seragam dinasku kucopot dan kuganti dengan kemeja lain, sedang Narsih kemeja dinasnya ditutupi dengan jaket.
    Setelah sampai di S, aku tawari Narsih untuk ke pantai yang mempunyai motel-motel yang bisa dipakai kencan gelap. Narsih setuju saja.
    Sampai di pantai, aku pesan kamar yang cukup besar. Kamar-kamar di sini tak terlalu bagus, tapi lumayanlah untuk kencan singkat. Toh yang diperlukan cuma kasur dan air cukup untuk mandi. Waktu itu di S belum ada hotel atau motel bagus yang sekarang bertebaran bisa digunakan untuk keperluan seperti itu.
    Begitu masuk kamar, Narsih langsung kupeluk dan kuciumi, dan segera kupreteli jaket, kemeja dan roknya sampai tinggal celana dalamnya. Begitu hampir telanjang seperti itu, aku terpesona dengan tubuhnya yang ternyata sangat indah dengan kulit yang agak gelap. Baru hari itu aku melihat tubuh indahnya hampir bugil total.
    Sebelum bertindak lebih jauh, Narsih minta pause untuk pipis dulu di kamar mandi. Sementara dia di kamar mandi, aku segera melucuti pakaianku sendiri sehingga tinggal celana dalam saja dengan kontol yang tampak menyembul tegang di dalamnya. Aku susul Narsih ke kamar mandi, dia sudah selesai pipis, celana dalamnya sudah dipasang lagi. Tanpa ayal di kamar mandi, dia kupepet ke dinding, dan kugelomohi seluruh tubuh setengah bugilnya dengan lidahku. Dengan ganasnya Narsih juga berbalik menciumi diriku. Habis-habisan susu ranumnya kujilat dan kugigit halus di sekitar pentilnya, sebab aku tak berani menggigitnya keras-keras (nyupang), takut ketahuan suaminya nanti. Kemudian, lidah kami saling bertaut dan saling memilin. Pokoknya kami keluarkan semua hasrat seksual ini tanpa hambatan, dan kesempatan bebas ini sudah kami tunggu beberapa hari.
    Tak sabar, celana dalam Narsih kupelorot dan kulempar jauh-jauh ke sudut kamar mandi. Dengan posisi Narsih yang masih berdiri, jilatan lidahku kuturunkan pelan-pelan dari bibir, leher, susu, perut, sampai akhirnya ke lipatan selangkangannya. Tanpa memandangi isi lipatan itu, lidahku kujulurkan ke sela-sela jembutnya yang tak terlalu lebat. Mula-mula Narsih merapatkan pahanya, katanya geli “Ah, pah … aku geli, jangan pah …”.
    Tapi aku nggak peduli, dengan Narsih yang masih berdiri dengan punggung menempel rapat di dinding kamar mandi, kukangkangkan selangkangannya lebar-lebar. Aduh, kulihat pemandangan cantik dari tempiknya yang merah kehitaman dengan liang yang sempit. Nafsuku makin berkobar, kontolku makin tegang tidak karuan. Mulutku langsung kudekatkan ke tempik Narsih, dan kujilat tepi liangnya pelan-pelan. “Aachhhh …. Ngkkkkrrr … aarrghhhh pah, papaaaaaah …. “, teriaknya keras. Narsih kelihatan menggeliat keras sambil spontan merapatkan selangkangannya sehingga kepalaku terjepit pahanya. Lidahku makin menggila saja, kumasukkan jauh-jauh ke dalam liang tempik Narsih yang baunya membuatku makin bergairah. Beberapa kali kugigit ringan labia minor dan mayornya. Tak lupa kelentitnya yang menonjol indah juga kukulum habis-habisan. Narsih makin menggelinjang nggak karuan. “Paaaah, Narsih nggak tahan paaah, ayo pah … ke tempat tidur saja.”, katanya terengah-engah setengah lemas.
    Karena aku tak kuat menggendongnya, aku bimbing cepat dia keluar kamar mandi menuju ke tempat tidur.
    Di tempat tidur, segera kutindih tubuh bugilnya yang kenyal itu sambil kuciumi bibir dan langit-langit mulutnya. Narsih rupanya sudah terangsang hebat, dia melenguh, “Aachh paaaah …. “.
    Celana dalamku yang masih kupakai sejak tadi langsung kupelorot saja, sehingga akhirnya kami berdua bergumul dan bergelut dalam keadaan telanjang bulat. “Paaah, ayao paaah masukkan saja, nggak usah lama-lama ….”, Narsih setengah memohon. Padahal aku sendiri sebetulnya masih ingin lebih lama menjilat-jilat dulu sebelum memasukkan kontol ke tempiknya.
    Mendengar permohonannya itu, kontolku yang sedari tadi sudah mengacung tegang, mulai mencari tempiknya. Narsih yang telentang, telah mengangkangkan pahanya terlebih dulu tanpa disuruh. Dengan dibantu tangan Narsih, kontolku perlahan dimasukkan ke liang tempiknya. “Aduh enaknya”, kata hatiku. Ternyata tempik Narsih cukup dahsyat rasanya, begitu masuk, pelan-pelan kugoyangkan pantatku ke kanan-kiri agar dengan mantap kontolku ambles ke dasar tempik Narsih. Hari ini jelas lebih enak dari pada seminggu yang lalu ketika aku memasukkan kontolku dari belakang sambil duduk.
    Narsih tidak tinggal diam. Dia begitu aktif menaikturunkan pantatnya. Kontolku serasa dikulum. Tempik Narsih memang masih sempit, walau pun sudah dimasuki berkali-kali oleh kontol suaminya selama dua tahun (dan aku dengar dari tetanggaku juga sudah pernah disetubuhi oleh pacarnya sebelum suaminya sekarang ini).
    Sambil melumat pentil susunya yang sangat indah bergoyang ketika Narsih menggelinjang kesana kemari, aku juga melirik ke bawah melihat gerakan tempiknya yang naik turun. Oh, betapa asyik pemandangan ini. Narsih memang hebat dalam bercinta, dia betul-betul cewek yang hiperseks dan menggairahkan.
    Mulutnya terus berbunyi, “Ooooh, aaaacchhh …. Paaah …. Papaaaaaah… oooooch … Arrrgh … iiih … paaaah …!”
    Setelah beberapa saat, Narsih menginginkan aku yang mengangkang, dan dia yang merapatkan selangkangannya, “Pah, aku yang merapatkan paha ya …?”, ia memohon. “Boleh”, kataku.
    Setelah merapatkan pahanya, aku dimintanya menggoyang naik turun, “Ayo pah, goyang, pah”. Aku turuti semuanya, aku goyangkan naik turun kontolku ke tempiknya yang merapat. Memang aku agak kesulitan, karena gerakan ini aku tak terlalu enak bagiku karena terhalang sempitnya vagina Narsih yang dirapatkan, tapi demi sayangku pada Narsih ya nggak apa-apa. Narsih rupanya menikmati posisi seperti itu. Erangannya makin menjadi-jadi, “Oooooh…. Oooooch … paahh, aku nggak kuat lagi paaaaah, … aarcggghhh …”. Dia makin menggelinjang, tempiknya ikut dia geser-geserkan tutup buka yang tak terlalu lebar. Aku juga mulai menikmati gerakan ini, walau pun rangsangannya bagiku tak terlalu hebat. Lidahku terus mengenyot puting susunya yang terus bergoyang-goyang, tanpa sadar timbul cupang kecil di sisi sebelah dalam dari pentil susu kanannya karena gigitanku, ah sebodo amat, pikirku. Akhirnya, dengan erangan yang cukup keras dan mengagetkan, “Aaaachh paaaaah, aku mau sampaaaiii paaaah … ooochhh ..”, dia menggelinjang dan segera membuka tempiknya lebar-lebar, dan kusambut dengan kakiku yang ganti merapat dan menghunjamkan kontolku dalam-dalam de dasar tempiknya yang lezat itu. Narsih menggeliat, dengan dada yang dibusungkan ke atas yang makin memperindah tampakan pasangan susunya, dan … “Aaaach paaah, aku ….. aaaach … saaaampaiiii paah … ooooiiich …”. Narsih bergetar sebentar dan lemas, dia telah orgasme. Kontolku di dalam terasa berdenyut-denyut dikenyot oleh otot dalam tempiknya. Nikmat rasanya. Tapi aku belum sampai, walau pun kalau digoyang sedikit saja, pasti sudah orgasme juga.
    Kubiarkan Narsih beristirahat karena kelihatan energinya terkuras dengan datangnya orgasme dahsyat barusan. Kuteruskan jilatan lidahku pada bibir dan dadanya. Aku tidak mau melepaskan kontolku dari tempiknya. Kasihan dia.
    Setelah pause sejenak, aku mulai mencopot kontolku dari tempik Narsih yang basah. Aku berputar dengan wajahku di bawah dan kontolku di wajah Narsih. Narsih tetap terlentang. Mulai kuserbu lagi tempik Narsih dengan jilatan lidahku. Narsih pun demikian, dia mulai mengulum permukaan kontolku, tapi sayang, kulumannya tidak terlalu enak, bahkan agak geli, dan sekali-sekali tergigit, sehingga kenyamananku terganggu. Rupanya Narsih belum pandai mengulum kontol. Mungkin suaminya tidak pernah mengajarinya untuk mengulum kontol dengan benar, atau suaminya memang tidak suka dikulum-kulum kontolnya.
    Posisiku kuubah kembali, aku melorot ke bawah di antara kedua pahanya, dan tetap memainkan lidahku di kelentitnya. Sekali-sekali kupandangi tempik Narsih. Ternyata dari jarak dekat ini, tempik Narsih sangat bagus, dikelilingi jembut yang tipis tetapi melingkari sisi atas kanan dan kiri tempik secara teratur. Kelentitnya cukup menonjol. Lendir tempik tidak berlebihan, baunya pun merangsang gairah nafsuku. Lubang anus di bawah juga sempit, bersih, dan jelas tidak pernah dimasuki benda apa pun. Lubang anusnya pun kujilati yang membuat Narsih mendesis sambil mengangkat pantatnya, sehingga tempiknya pun makin menganga lebar. Kupindahkan lagi lidahku dari anus, dan kusergap lubang tempiknya, kujilati lagi, dan Narsih kembali mengerang, rupanya gairahnya setelah orgasme pertama sudah pulih lagi , “Ayooo paaah, dimasukkan lagi … papaaah ‘kan belum … ooooch paaaah … “.
    Aku kembali merayap ke atas dan kembali Narsih kutindih, dan kontolku siap kumasukkan lagi ke liang tempiknya yang tetap menganga lebar. Narsih menggeliat-geliat tak beraturan. Aku dengan setengah duduk, menghunjamkan kontolku ke dalam tempiknya dalam-dalam, secara teratur kukeluar-masukkan. “Aaach … acchhh, paaah …”. Narsih menyambut gerakanku dengan memutar-mutar pantatnya, sehingga kontolku terasa diperas-peras. “Addduuuh, Narsih, eeenaaak Narsiiiih …”. Narsih pun menjawab dengan mengerang pula, “Yaa, sayyyaaaang, aku saaaayaaang papaaah, ooooch papaaaah … aku cinta papaaaah Wawaaan …”. Dia mengerang terus dan terus, sambil geliatannya makin menghebat, ditingkahi gerakan susunya yang makin merangsangku. Mata Narsih terpejam, dengan bibir indah yang menggumam namaku sekali-sekali. Oh, kamu manis sekali Narsihku. Kamu bidadariku. Kamu asyik-menggairahkan sekali. Kamu tak akan kulepas sampai kapan pun. Akan kusuburkan benih rahimmu dengan spermaku.
    Akhirnya rasa geli yang memuncak di kontolku tak tertahankan lagi. Juga Narsih makin mengelojot. “Naaarsssssih, aku mau keluuuuaaar Sih …., aku masukkan semuanya ke tubuhmu Siiih …”. “Yaaah, paaaah, tolong aku dibikinkan anak paaaaah … ooooch paaaaah”.
    Air maniku tak tertahankan lagi menyemprot beberapa kali ke dalam liang tempik Narsih yang kusayangi ini. “Acch Siiiih ….”. “Semprot yang kuuuaaat paaaah, aku sayang kamuuu paaaah, … ooooch …”.
    Langsung Narsih kudekap erat-erat, kedua kakinya dilingkarkan ke pinggangku erat-erat, seperti nggak mau dipisahkan lagi. Kontolku dikenyot-kenyot oleh tempiknya yang berdenyut-denyut menerima spermaku. Rasanya aku makin sayang Narsih.
    Tak terasa jam terus bergulir. Tapi masih ada waktu.
    Kusuruh Narsih membersihkan tempiknya, dan pipis, aku pun demikian. Aku masih ingin melanjutkan permainan ke babak berikutnya.
    Setelah ngomong-omong ringan sambil berbaring, kontolku di pijat-pijat oleh jari-jari Narsih yang lentik. Dia cukup pintar memijat kontol (walau pun tidak bisa mengulum kontol), sehingga kontolku bangun kembali. Narsih tersenyum manis. Rupanya dia menginginkan hari itu diakhiri dengan kehangatan sekali lagi. Aku pun merespons dengan menciumi bibir, hidung, leher, telinga, dan seluruh wajahnya, sehingga semuanya basah mandi ludahku. Dia senang dengan gelomohan lidahku itu. Sambil jari-jariku kembali mengobok-obok tempik-vagina dan kelentitnya.
    Karena waktu yang tak mau berkompromi, sehingga kami harus cepat-cepat pulang, maka permainan harus cepat diselesaikan.
    Narsih kuminta untuk membalik badan, dan sedikit mengangkat pantat atau menungging. Tanganku kujelajahkan pada seluruh permukaan tempiknya dari belakang. Pemandangan dari belakang ternyata tak kalah indahnya, kelihatan tempik yang merekah merah kehitaman dengan liang yang menggoda. Gairahku langsung ke puncak ubun-ubun melihat pemandangan seperti itu. Tanpa lama-lama, kontolku dengan bantuan tangan kanan Narsih kuserobotkan masuk ke dalam tempiknya dari belakang. “Aduuuh paaaah, eenaaak paaaah”, gumam Narsih. Satu tanganku kulingkarkan ke depan dan meremas-remas susunya yang menggantung indah. Narsih makin mendesis kenikmatan, aku pun juga nikmat. Tapi Narsih tak bertahan lama menungging, mungkin kelelahan, dia segera merebahkan pantatnya ke ranjang tetap sambil tengkurap. Kuikuti saja posisinya, sambil terus menghunjamkan keluar masukkan kontolku. Narsih makin mengerang, ibu jariku kumasukkan ke mulutnya, dan dia isap keras-keras. Aku terus menggoyangkan kontol, disambut dengan gerakan ringan dari Narsih yang juga memaju-mundurkan pantatnya. Tapi rupanya dia agak lelah, sehingga gerakannya tidak sedahsyat tadi. Kujilati punggungnya dari belakang. Rupanya dia sangat terangsang dengan jilatan itu, sehingga erangan dan desahannya kerasnya muncul kembali. “Aaaduuh paaah, nggak kuuuaaat paaaah, geeliiii … “. Aku sodokkan terus kontolku sambil menjilati punggung dan meremas susu dari belakang. Lehernya kutolehkan ke samping, mulutnya kucari dan kugelomoh dengan bibirku, aduh, rupanya dia sangat terangsang, mulutku dibalas dengan jilatan bibirnya dari samping dengan ganasnya.
    Aku tiba-tiba merasa akan sampai. Dengan cepat kubalikkan badannya, dan kontolku yang terlepas kembali kuhunjamkan dalam-dalam ke tempiknya yang sudah telentang kembali. Narsih juga merespons dengan melingkarkan lagi kakinya rapat-rapat ke pinggangku sambil menaikturunkan pantatnya. Kontolku seakan-akan diisap-isap. “Paaaah, ayo cepet keluar paaaah, aku mau keluuuaaaar paaaah …. Oooooocccc iiiicch …”, teriak Narsih. Mendengar erangannya, aku makin terangsang, kenikmatanku mulai sampai ke ujung kontol, dan segera kumuntahkan air maniku untuk kedua kalinya hari itu jauh-jauh ke dalam rahimnya, “Aaaaach Narsiiiih, aku keluuuuaaaaar …..”. “Saaaamaaaa paaaaah, aku sampaaaaai jugaaaa …. Ooooch paapaaaaaah sayaaaaang ….. iiiiich …”.
    Kupeluk Narsih erat-erat dengan kontol yang juga masih terkulum erat-erat oleh tempiknya, seakan-akan besok akan kiamat. Narsih, aku sayang kamu …
    Setelah persetubuhanku dengan Narsih di pantai kota S, hubunganku dengan Narsih makin intim dan liar. Setiap ada kesempatan aku menggumulinya, di mana pun tempatnya, kecuali di kantor. Aku bisa menyetubuhi Narsih di rumah (tapi tak pernah di rumah Narsih), di dalam mobil di pinggir jalan raya, di pinggir hutan, atau di pinggir pantai, di motel atau hotel di beberapa kota (di antaranya kota S, P, Md, Ml, atau J). Malah aku pernah menyetubuhinya dalam keadaan menstruasi. Itu pun tidak terasa mengganggu, tetap terasa nyaman bagi kami berdua, sebab bagi kami prinsipnya semuanya dilakukan dalam kondisi kemaluan yang bersih.
    Suatu saat, siang hari pukul satu, aku harus ke teman sejawatku di puskesmas lain se kabupaten yang cukup jauh dari puskesmasku untuk suatu keperluan yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku mengajak Narsih karena memang aku perlu bantuannya. Perjalanan itu melewati hutan jati yang berbukit-bukit dan berliku tetapi aspalnya cukup mulus. Jarang sekali kendaraan atau orang yang melintasi daerah itu.
    Persis ketika mobilku melintas hutan yang sepi itu, aku mulai tergoda melihat Narsih yang ada di sisiku. Dengan tangan kananku tetap menyetir, tangan kiriku mulai bergerilya mengelus-elus paha Narsih yang ada di balik roknya. Roknya kusingkap ke atas, sehingga pahanya yang mulus sedikit gelap terpampang jelas di mata ku. Narsih kuminta untuk mencopot celana dalamnya. “Pa, hayo apa-apaan ini, koq main-main di jalan raya?” katanya. “Sudahlah Sih, aku sudah ngaceng lho.”, jawabku. “Hati-hati pa, lihat jalan, atau kita berhenti saja.”, dia memperingatkanku. Karena aku harus segera sampai ke tujuan, aku jawab: “Nggak usah, berhentinya nanti saja sepulang dari sana, nanti keburu ditinggal pergi oleh dokter Herman, ‘kan rugi kalau sudah jauh-jauh tapi gagal ketemu.” Narsih diam saja mendengar jawabanku itu, dan pelan-pelan dicopotnya celana dalamnya dan dimasukkan ke dalam tas tangannya. Begitu Narsih tak lagi memakai celana dalam, segera tangan kiriku makin naik menyusuri pahanya dan menyerobot masuk ke selangkangannya, kucari vaginanya, dan mulai kugeser-geser bibir tempiknya. Mulai terangsang, tangan kanan Narsih berpindah ke kontolku yang masih tertutup celana dinas. Merasakan tangannya yang mulai mengelus-elus kontol, aku bilang: “Sih, buka saja celanaku, sabuknya dilepas dulu, ayo …”. Narsih mulai melepaskan ikat pinggang dan resleting celanaku, setelah itu tangannya langsung menyelusup ke balik celana dalamku tanpa dilepasnya. Aku merasakan nikmatnya kontol yang dipijat halus oleh tangannya. Jari-jariku sendiri makin liar mengubek-ubek tempik Narsih, sampai dia mulai mendesis seperti biasanya: “Aaah paaah, kamu nakal paaaah …”. Narsih mulai menggeliat kenikmatan, dan tempiknya makin basah dan licin, sehingga jari telunjukku makin bebas menerobos masuk liangnya. Kelentitnya pun berhasil kumanipulasi dengan jari tengahku. Narsih makin menggeliat, “Paaaaah, aku nggaaak kuuaat lho paaaah. Berhenti saja di pinggir paaah, aku nggak kuuuaaaat paaah”, dia memohon tanpa sadar tangan kanannya memeras kontolku kuat-kuat, sehingga aku terkaget. Sebetulnya aku ingin menuruti permintaannya agar berhenti di tepi jalan, dan ngeseks di situ, tapi mengingat waktu, permintaannya sementara tak kuhiraukan. Mobil tetap kujalankan pelan, sekali-sekali berpapasan dengan motor atau truk. Dengan kadang-kadang kupakai untuk mengoper persneling, tangan kiriku tetap mengubek-ubek vaginanya yang makin basah. Narsih makin mengerang, sehingga akhirnya tangan kanannya melepas kontolku, dan kursi yang didudukinya direbahkannya sehingga Narsih berposisi agak berbaring, dan pantatnya dinaikkan karena rangsangan yang tak kuat ditahannya, “Aaaaccrhh paaaah, kamu menyiksa aku paaaah, aku sudah kepingin paaaah, ayo paaaah, sekarang saja kita main paaah….”, rintihnya. Rok luar dan dalam bagian depan kusingkap makin ke atas, sehingga tempik Narsih langsung tampak menyembul merekah, dengan tangan kiriku masih mengubek-ubek di dalamnya. Narsih terpejam menahan birahinya yang kelihatan makin menggelegak Aku sudah paham betul bagaimana raut wajah Narsih ketika terangsang kuat oleh birahi. Dia makin mendesah. Melihat wajah seperti itu aku pun makin bernafsu, sayang, tangan Narsih sudah dilepaskannya dari kontolku yang sebetulnya menghendaki kocokan agar aku pun bisa merasakan nikmatnya permainan ini sampai orgasme. Tempik Narsih makin basah dan makin basah saja. Tanganku tak berhenti memutar-mutar ujung kelentitnya, “Paaaaaah, aaaaddduuuuh paaaaah, aaaakuuu nggaaaak taaaahaaaan paaaaah, aku .. aku …. hampir sampaaaiii paaaah … oooooooocchhhh paaaah …”. Pantat Narsih makin naik, tempiknya makin merekah, dan tiba-tiba tubuhnya bergetar, dan pantatnya jatuh ke jok dan lemas. Orgasmelah dia, “Aaaacchhhh … sssshhhhh .. hhehhhh … paaaah .. ooooooocchhhh ….”. Dan wajahnya kemudian direbahkan ke kedua pahaku dan pipinya ditempelkan ke kontolku yang masih ngaceng. Tanganku pun kulepaskan dari tempiknya. Kubiarkan Narsih terengah-engah lemas di pangkuanku. Kuelus-elus sayang rambutnya yang sebahu itu. Kupercepat laju mobilku.
    Mendekati tujuan, aku merapikan baju dan celanaku, tetapi Narsih nggak sempat memasang kembali celana dalamnya, karena dia kelelahan dan agak tertidur di pangkuanku. Ah, biar saja, siapa sih yang tahu Narsih nggak pakai celana dalam, kecuali kalau dia menyingkapkan roknya.
    Aku cukup lama di rumah dinas sejawatku tadi, ngobrol kesana-kemari, karena dia dulu adalah seniorku di fakultas kedokteran. Setelah keperluanku selesai, aku pamit pulang. Hari sudah sore, pukul empat.
    Di tengah perjalanan pulang, jalan di tengah hutan makin sepi karena sudah senja. Birahiku timbul kembali melihat suasana senja yang indah di hutan yang sejuk itu. Aku mulai merangsang Narsih kembali dengan membuka kancing-kancing baju dinasnya (sejak mulai berangkat pulang Narsih sudah merebahkan jok depan, dia dalam posisi setengah berbaring sambil memejamkan mata, karena ngantuk). Narsih tersadar akibat gerakan tanganku yang mulai meraba-raba BH nya. “Hayo … mulai lagi … nakal ih”, katanya. Aku nggak peduli, kontolku mulai ngaceng lagi. Di tempat yang agak datar dan cukup aman, mobil kutepikan agak menjorok ke arah hutan. Kemudian dengan cepat celanaku kubuka. BH Narsih kusingkap ke atas, sehingga susunya menyembul dengan indahnya, langsung kuisap dengan lembut puting kanannya. Narsih mulai mendesah lagi, “Paaaah … aaaccchhh …”. Rok luar-dalam Narsih yang tak bercelana dalam kusingkap sama sekali ke atas sampai terlihat pusarnya, lidahku berpindah dari pentil susu ke paha Narsih, kujilati dan kugigit-gigit sampai Narsih sedikit menjerit, “Paaaah ….”. Selangkangannya kurenggangkan, pelan-pelan bibirku kuarahkan ke vaginanya yang sudah terpampang indah bagai bunga merekah di depan mataku. Birahiku makin memuncak. Kulumat habis-habisan liang tempik Narsih, sehingga dia makin mengerang setengah berteriak, “Aaaaduuuh paaaah … cepet paaah, main saja yuuuk … oooooch ….”. Aku tak menggubris erangannya, klitorisnya kusergap dengan lidahku dan kupilin-pilin, Narsih merespons gerakan lidahku dengan makin mengangkat pantatnya sambil terus mengerang. Sudah nggak tahan lagi, aku berpindah tempat dari jok kanan ke jok kiri dan menindih tubuh Narsih yang setengah bugil dan mengangkang itu. Celana dalamku langsung kupelorot tanpa kulepas, dan dibantu dengan tangan Narsih yang sudah nggak sabar, kontolku kumasukkan pelan-pelan ke tempiknya yang sudah licin tapi kenyal itu. “Aaaach paaah …. Papa sayang Narsih paaaah?” dia bertanya. “Mengapa kamu tanya itu … jelas sayang dong .. aaah eeenaaak Siiih …” aku menjawab sambil mendesis keenakan.
    Kontolku kumaju mundurkan dengan teratur, tanpa peduli pada beberapa kendaraan yang melintas di jalan itu. Bibirku melumat bibir Narsih yang mendesah-desah dan tubuhnya terus menggeliat. Agar aku mudah bermanuver, jok kurebahkan dan kumundurkan posisinya maksimal ke belakang. Hebatnya, walau pun dalam posisi yang tak terlalu menguntungkan karena sempit, Narsih tetap bisa membuat gerakan yang lumayan. Kedua kakinya dilingkarkannya ke pinggangku sehingga kontolku bisa tandas membenam ke dasar vaginanya. Enak juga posisi ini, dan suasana di tepi hutan lumayan romantis. Asyik dan unik. Agar lebih nyaman, kancing-kancing baju atasku kucopot walau pun baju tidak kulepas, demikian pula kulepas kaitan belakang BH Narsih dan kemudian BH nya kucopot sama sekali, sehingga dada telanjang kami bisa bersentuhan langsung. Kedua tangan Narsih dilingkarkan erat ke punggungku melalui sela-sela bajuku. Kami betul-betul bersatu, menjadi satu tubuh, bersetubuh, walau pun tidak bugil total. Kunikmati persetubuhanku kali ini dengan rasa sayang. Kuciumi rambutnya, belakang telinganya yang membuat Narsih terhentak-hentak mengelinjangkan pantatnya sehingga kontolku makin terkenyot oleh tempiknya yang melebar maksimal. “Aku makin saaayaaaang kamu papaaa … aku nggak mau dipisahkan dari kamu paaah, aku cinta kamu paaaah … kamu enak paaaaah … aaaaaaacchhhhhhhh paaaah,” erangnya sambil memejamkan mata. Tangannya makin erat merangkulku. Punggungku dicengkeramnya kuat. Keringat mulai bercucuran dari dada tubuh kami. Dada kami makin licin, sehingga gesekan antara dadaku dengan kedua susu Narsih yang kenyal itu makin terasa enak dan merangsang.
    Kontolku makin kupercepat gerakannya. Narsih makin menggelinjang dan dadanya dibusungkan sehingga kepalanya terkulai ke belakang. Posisi tubuhnya makin terlihat seksi. “Aaaayoooo paaaah, aaaakuuu hampir orgasme lagi paaaah ….. “. Lingkaran kakinya makin dipererat sehingga pinggangku terjepit kuat, kontolku makin terbenam dalam. Aku pun terangsang hebat, rasa geli sudah pula mulai menjalar di seluruh tubuhku dan berakhir di ujung kontol. “Aku juga mau keluuuaaaaaar Siiiiiih …. Ayo Siiih goyang pantatmu Siih, kocoook yang keras Siiih ….”. Narsih menggeliatkan pantatnya kesana kemari sambil kedua tangan dan kakinya makin menjepitku erat. Aku makin merasakan keindahan percintaan dan persetubuhanku dengan Narsih. Sebentar kemudian, Narsih berteriak hampir bersamaan dengan lenguhanku juga, “Oooooiiiich paaaah Narsih eeeeenaaaaak paaaaah …., saaaaampaaaai paaaah …..”. Aku merasakan cakaran kuku-kuku jari tangannya di punggungku. “Akuu juuugaaaa Siiiih, ayo Siiiih rapatkan dan tekan lagi Siiiiih, aaaarrgggggh ….. hhhhhhh …. Hhhhh …”, aku pun menyemprotkan spermaku kuat-kuat ke dalam vagina Narsih. “Semproooot keras-keras paaaah, aaakuuuu saaa … saaaaayaaaaang paaaapaaaaaaah …. Ooooooohh …”.
    Keringat kami membasahi seluruh tubuh, dada kami yang bersatu seperti diberi pelumas oleh peluh kami berdua. Angin berdesir dari luar mobil masuk ke sela-sela ke empat jendela mobil yang sedikit kubuka agar terasa sejuk. Oh indahnya persetubuhanku kali ini di tengah hutan jati yang lebat di atas bukit.
    Aku tidak segera melepas kontolku dari tempik Narsih. Tangan Narsih sudah terkulai ke pinggir jok, demikian pula kakinya sudah berselonjor ke lantai mobil sambil mengangkang lemas. Sekali-sekali kuelus rambut dan dahi kekasih gelapku ini. Sekali-sekali kuciumi bibir dan wajahnya yang berkeringat deras. Demikian pula buah dadanya yang licin mengkilat oleh peluh sekali-sekali kubelai dan kucium lembut. Narsih tersenyum manis. Dia tampak sangat puas memadu cinta denganku meski bukan di tempat yang wajar.
    Setelah berkemas, kami pulang dengan pikiran yang nyaman. Sesampai di rumah istriku mau pun suami Narsih tak mencurigai apa saja yang telah kami perbuat hari itu.
    Dari hari ke hari, menurut pandanganku, Narsih makin seksi, makin manis dan makin menggairahkan. Benar kata orang, bahwa biasanya seorang wanita yang sedang jatuh cinta akan lebih cantik dan ceria, Narsih pun begitu, saat itu dia ‘kan sedang jatuh cinta berat padaku. Aku pun makin sayang padanya, sampai-sampai aku sering ‘cemburu’ bila saat dibonceng motor suaminya kulihat dia melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Setelah kukatakan padanya bahwa aku ‘cemburu’ melihat pemandangan seperti itu, maka dia tak lagi pernah melingkarkan tangan ke pinggang suaminya bila melewati depan rumahku. Lucu juga jadinya. Rupanya dia lebih mencintaiku daripada suaminya. Buktinya, Narsih selalu menuruti setiap keinginanku, termasuk menghentikan kebiasaannya mandi bareng dengan suaminya, karena aku tidak suka itu.
    Aku tidak pernah ingin merusak rumahtangganya (hubunganku dengan suaminya sangat baik, kami biasa saling membantu pada saat-saat diperlukan), sebab aku pun tidak ingin rumahtanggaku rusak gara-gara perselingkuhanku dengan Narsih. Sebesar apa pun cintaku pada Narsih, aku masih tetap mencintai istri, anak, dan keluargaku. Bagiku cinta sebetulnya bisa dibagi, dengan kualitas yang sama penuhnya. Aku tetap ingin keluargaku utuh, sementara aku tetap bisa menyetubuhi kekasihku Narsih kapan saja aku ingin.
    Di samping itu, perselingkuhan antara aku sebagai pimpinan puskesmas dengan Narsih yang perawat bawahanku tidak boleh mengganggu pekerjaan kantor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan masyarakat. Kalau pun kami ‘terpaksa’ harus meninggalkan kantor untuk melampiaskan hasrat seksual di tempat lain pada saat jam kantor, terlebih dulu kupastikan bahwa ada petugas pengganti yang standby sehingga pelayanan tidak terganggu. Biasanya aku meninggalkan kantor pada jam-jam saat pasien sudah sedikit, atau pada hari-hari aku sedang tidak ada kegiatan ke lapangan. Semua kegiatanku termasuk bercinta dengan Narsih selalu kurencanakan rapi jauh sebelumnya (paling cepat 4-5 hari sebelumnya), sehingga semuanya beres. Pekerjaan beres, percintaan beres, dan, yang penting, tidak seorang pun mencurigai hubungan gelap kami.
    Untuk komunikasi, kami masing-masing kebetulan memiliki HT (handy talky) 2 meteran ORARI (waktu itu belum ada telepon di daerahku, apalagi handphone), sehingga kapan pun aku bisa menghubunginya dengan mudah.
    Suatu saat Narsih harus mengikuti pelatihan keperawatan berkelanjutan di kota Mg yang sangat jauh dari rumah selama satu bulan. Bisa dibayangkan bagaimana kangenku padanya (saya kira Narsih juga mempunyai perasaan yang sama). Memang sih, dia setiap Sabtu sore pulang ke rumah dan Minggu sore balik ke Mg. Tapi saat dia pulang jelas tidak mungkin kugunakan untuk bertemu memadu cinta. Kesempatan kami bertemu selama ini hanya pada hari kerja. Tapi aku tak kurang akal. Ketika kebetulan istriku punya rencana mengantar anakku ke neneknya yang ada di kota J selama seminggu pada minggu depan, aku membuat janji dengan Narsih yang ada di Mg melalui telekomunikasi radio (HT), agar bilang pada suami untuk tidak pulang pada Sabtu-Minggu depan dengan dalih ada acara di pelatihan itu. Nah, pada saat itu aku bikin janji untuk menjemputnya di suatu tempat untuk kuajak menginap semalam di P, kota kecil di pegunungan yang sejuk. Dia setuju dengan rencana itu.
    Tepat pada hari perjanjian itu, istriku sudah tiga hari di J dan baru pulang empat hari lagi, sore hari aku meluncur ke tempat rendezvous dan menunggu Narsih datang dengan bus dari Mg. Sekitar dua jam aku menunggu, benarlah Narsih datang dengan celana jin dan t-shirt ketat yang menambah keseksian dan kemanisannya. Ternyata tak salah aku mempunyai kekasih Narsih yang bisa dipamerkan (Tapi akan dipamerkan kepada siapa? Narsih pun bukan milikku.). Selama ini, terlihat jelas banyak lelaki yang memandang Narsih dengan kagum (mungkin sambil menelan ludah), terutama kalau dia sedang tak berseragam dinas hansip. Narsih berpenampilan cukup modis dan serasi dalam berpakaian, ditunjang pula oleh bentuk tubuh dan wajah yang menarik. Walau pun Narsih tinggal di desa kecamatan, dia tak kalah dengan ‘wanita kota’, juga tak kalah dengan istriku yang lumayan cantik. Bedanya Narsih hitam manis, istriku kuning ayu. Tapi Narsih mempunyai kelebihan, yaitu lebih seksi dan jauh lebih panas (tentu, lebih memuaskan) di tempat tidur. Soal intelejensia kukira Narsih tidak kalah dengan istriku (tampak dari cara mengemukakan pendapat dan apa isi pendapatnya), kekurangannya dibandingkan istriku tentu saja adalah tingkat pendidikannya.
    Narsih langsung masuk ke mobil, dan kami segera meluncur ke P yang sejuk. Di jalan, tak henti-hentinya Narsih menyandarkan kepalanya di bahuku dan sekali-sekali mencium pipi dan telinga kiriku dengan mesra. “Aku kangen pa, kita lama ya nggak ketemu, dua minggu lebih. Di Mg aku selalu memimpikan kamu pa. Anehnya Narsih sama sekali nggak pernah kangen pada Bakdi suamiku, apalagi mimpi dia.”, katanya. “Kalau begitu, sama dong kangennya”, ujarku senang.
    Nakalnya, Narsih kadang-kadang secara tiba-tiba menyentuh dan meremas kontolku ketika aku lagi konsentrasi nyetir di jalan yang berkelok-kelok itu sampai aku terkaget-kaget.
    Menjelang magrib, kami sampai di P dan kami mulai mencari-cari villa yang bisa disewa. Akhirnya ketemu sebuah villa yang cukup besar dan berpemandangan indah di sekitarnya, dengan harga sewa yang tak terlalu mahal. Halamannya cukup luas dengan garasi terpisah dari rumah cukup untuk dua mobil. Villa itu mempunyai 3 kamar tidur, salah satunya adalah kamar tidur utama dengan ukuran cukup luas 7 x 5 meter dengan kamar mandi dalam yang mempunyai bath tub dan shower dengan air panas-dingin. Di dalam kamar tidur utama terdapat lemari besar memanjang dengan cermin sepanjang salah satu dinding sejajar dengan sebuah ranjang besar. Dapur kering, ruang makan dan ruang tamu tidak dipisahkan oleh sekat apa pun. Pokoknya villa dengan kondisi yang lebih dari cukup untuk memadu cinta bersama kekasih sehari semalam.
    Petang itu penjaga villa (suami-istri menjaga rumah itu di kamar belakang yang terpisah dengan rumah induk) kuminta membelikan makan malam dan makanan kecil, agar malam itu kami tak terganggu oleh tetek-bengek apa pun, sebab aku merencanakan menghabiskan akhir pekan ini dengan kenangan indah yang dahsyat tak terlupakan.
    Saat magrib tiba, setelah mandi, Di petang yang dingin itu kami mulai bercengkerama bebas, saling memeluk, mencium dan menggoda di kamar. Lama-lama aku mulai tak tahan, karena sudah beberapa minggu tak ketemu, aku cepat beranjak panas. Di depan cermin rias, Narsih yang berdaster motif kembang dengan tali penutup dada di depan tanpa celana dalam dan tanpa BH dengan ganas sambil berdiri mulai kupeluk dari depan. Bibirnya kulumat dengan nafsu yang berkobar, Narsih pun membalas tak kalah panasnya. Sambil memilin lidahku, celana kolorku dipelorotnya cepat, dan mengacunglah kontolku dengan gagahnya, sebab aku tak memakai celana dalam. Aku pun melolosi tali depan daster Narsih, dan tersibaklah buah dadanya yang memungkal indah itu. Kedua pentil susunya segera kuserbu dengan jilatan lidahku, seluruh pentil dengan areolanya kukenyot dengan kuluman lidahku tanpa ampun. Narsih mengimbanginya dengan mengelus kontolku dengan pijatan-pijatan halus. Tubuh Narsih pun mulai menggelinjang tak teratur, sambil menggumam, “Aku kangeeen paaah …. “. Nafsuku memuncak tatkala mendengar gumamannya itu. Narsih kududukkan ke atas meja rias membelakangi cermin. Bagian bawah dasternya kusingkap jauh ke atas sampai kelihatan jembutnya yang tipis, dan pahanya kurenggangkan selebar mungkin dan perutku yang sudah telanjang kutaruh di sela-sela selangkangannya. Tangan kananku mulai mengelus jembut dan turun ke bawah ke lipatan selangkangan sampai menemukan liang yang mulai licin berlendir, jariku pun mengelus dan mengorek apa saja yang ada di sana. Narsih merintih cukup keras, “Paaaah, lama nggak begini ya paaaah …, ooooccchh … aaaargghhhh ….”. T-shirtku yang masih kupakai dilepasnya, lalu dadaku yang sudah telanjang dengan rakusnya diciumi oleh Narsih. Aku yang gantian menggelinjang kegelian enak. “Aduuuh Siiiih …, kamu pinter merangsang Siiih ..”. Tak kalah dengannya, dasternya pun kulepas melalui kepalanya, sehingga sekarang kami berdua telanjang bulat. Pemandangan itu makin menaikkan birahi berlipat-kali karena kami bercumbu persis di depan cermin rias, sehingga seperti nonton blue-film. Rupanya Narsih sudah tak tahan lagi sehingga, tanpa permisi kontolku yang persis berada di depan vaginanya segera dimasukkannya ke liangnya. Aku yang juga tak sabar karena sudah begitu kangen dengan tempiknya, setuju saja. Dengan masih duduk di atas meja rias, Narsih sambil bertelekan dengan satu tangan di atas meja, tangan satunya menarik pantatku ke tubuhnya, sehingga cepat terbenamlah kontolku dalam-dalam ke tempiknya yang memang sejak tadi sudah siap. “Aaaachhh paaaaah … eeenaaaak …. Goyang paaah …. Aku kangeeen … ayo paaaah …”. Narsih memang tak pernah menyembunyikan ekspresinya ketika bersetubuh. Dia ucapkan semua yang dirasakannya secara lepas-bebas. Itulah yang membuatku makin lengket padanya. Sekarang kedua tangannya disandarkan pada meja, dadanya membusung dengan kepala agak terkulai ke belakang, betul-betul pemandangan yang indah dan begitu seksi. Kocokan kontolku kukontrol ritmenya, mundur sampai hampir terlepas, dan cepat kumasukkan lagi dalam-dalam, begitu di dalam kuputar dengan pangkal pubis kugeserkan ke klitorisnya. Begitu berkali-kali. Kurasakan enaknya gerakan ini, Narsih pun merasakan hal yang sama, dia makin mengerang dan merespons dengan memutar pinggulnya sambil menjepit pantatku dengan kedua kakinya. Keenakan, lebih-lebih dengan adanya tambahan rangsangan bayangan di cermin, aku menjadi mendengus, “Narsiiih … kamu enaaak Narsiiih …. Kita bikin anak di sini ya Siiih …. Ssshhh …”. “Iya paaah … aaaachhhh …. Teeeruuuus … teeeruus paaaah … “.
    Merasa mau orgasme, kuhentikan gerakanku, sebab aku nggak mau mendahului Narsih yang belum sampai (aku kasihan pada Narsih kalau aku duluan selesai). Narsih kuminta turun dari meja, kontol kucabut, dan Narsih kuminta berbalik menghadap cermin. Pemandangan menjadi makin indah. Kurenggangkan selangkangannya sambil sedikit membungkuk, dan kumasukkan kontolku dari belakang. Narsih agak malu melihat dirinya di cermin dalam keadaan bugil disetubuhi seperti itu. Wajahnya yang malu-malu dengan keadaan polos seperti itu makin manis dan meningkatkan birahiku, apalagi melihat kedua susunya yang berukuran tak begitu besar itu menggantung bagus. Setelah kontolku masuk, tubuhnya agak kutegakkan, kedua tanganku kubawa ke depan dan kedua susunya kuraba dan sedikit kuremas, lehernya kujilat dari belakang, sehingga Narsih melenguh kembali, “Aaaduuuh paaaah … kamu pintaaar paaah … aaku … aakuu … eeenaaak paah ..”. Tangan kiriku kuturunkan ke bawah mengocok kelentitnya, bersamaan dengan kocokan kontolku di vaginanya. Perlakuan itu kupertahankan beberapa lama sampai Narsih betul-betul nggak tahan, geliatannya menjadi tak teratur, dan teriakannya (betul-betul teriak!) makin keras, “Aaarrgghhhh paaaah, akuuu maaauu saaampaaai paaaah, ayo teeruuss ….”, ibu jariku yang ada di dadanya dibawanya ke mulut dan diempotnya. Pemandangan di cermin makin asyik. Akhirnya, aku nggak tahan, “Aaayoo Siiih, aku keluuuaaar Siiih …” “Aakuu juugaaa paaaah … aaaccch oooooocccchhh …… hhh … hhhh …. Papa saaayaaaang …. Oooocchhh … “, desahnya juga. Air maniku menyemprot beberapa kali, diterima dengan denyutan otot vagina Narsih yang nikmat. Tubuhku dan tubuh Narsih sama-sama berkelojotan di depan cermin. Wajahnya kutolehkan agak ke samping dan kucium mesra bibirnya … lama sekali …
    Merasa capek, Narsih kubawa berbaring ke tempat tidur, kuambil selimut dan kututupkan pada kedua tubuh kami, lalu kupeluk dia berhadapan sambil kucium. Dia akhirnya tertidur dalam dekapanku.
    Rupanya aku ikut tertidur. Begitu terbangun, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam lebih. Lumayan lama aku tertidur. Narsih kulihat masih pulas, suara napasnya halus dengan ritme yang teratur. Capek sekali rupanya dia setelah mengalami perjalanan jauh dari Mg. Kucium pipinya dan kuelus rambutnya dengan rasa sayang. Wajahnya tetap manis.
    Aku pipis dan membersihkan diri ke kamar mandi, dan ketika kulihat meja makan, di sana sudah tertata rapi makanan malam (pasti ditata oleh pak atau bu penjaga villa). Pikirku, “Jangan-jangan penjaga villa mendengar ‘keramaian’ di kamar tadi. Ah, biarin.”. Aku menyeduh kopi dan secangkir teh manis hangat untuk Narsih. Tiba-tiba Narsih sudah ada di belakangku dengan berdaster. Kuajak dia makan bersama, karena perut kami sudah lapar.
    Setelah makan malam, kami duduk-duduk di sofa kamar tamu sambil berangkulan, kepala Narsih di sandarkan ke bahuku. Inilah pengalaman pertama kami bisa menikmati suasana sesantai ini.
    Malam itu pula aku mendengar segala problema Narsih yang menyangkut kehidupan keluarganya. Ayah Narsih ternyata sudah beberapa lama, sejak Narsih di SMP, meninggalkan keluarganya tanpa kabar berita, sehingga Narsih dan adik-adiknya (Narsih adalah sulung) kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
    Katanya, dari diriku, selain mendapatkan kepuasan seks, dia telah mendapatkan kasih sayang penuh, yang selama ini didambakannya. Selain itu, aku dinilainya sebagai lelaki sejati yang bisa memperlakukan wanita dengan baik. Sikapku halus, galant dan menghormati wanita. Dia selama ini juga memperhatikan bagaimana sikapku terhadap wanita-wanita lain, seperti terhadap istriku, teman kantor, tetangga, atau pasien.
    Kepribadian dan perilaku suaminya, Bakdi, dinilai sangat jauh tak sebanding denganku. Bakdi kekanak-kanakan, dan sangat tergantung pada orangtuanya. Narsih mengaku pernah mendapatkan perlakuan seksual secara semena-mena dari suaminya. Misalnya, beberapa kali Bakdi, ketika sedang berhubungan seksual, memaksa memasukkan seluruh kepalan tangannya yang besar ke dalam vagina Narsih. Aneh. Hal itu sangat menyakitkan baik secara fisik maupun mental, yaitu melecehkan harga dirinya sebagai wanita. Narsih merasa diperlakukan seperti pelacur oleh suaminya sendiri. Perlakuan-perlakuan semacam itu sudah dialami Narsih sejak beberapa bulan setelah menikah. Namun, karena baktinya pada sang suami, Narsih tidak banyak memprotes, dia hanya menangis saja. Dia sudah pernah menceritakan keadaannya kepada ibunya, tetapi ibunya meminta Narsih untuk tetap sabar. Demikian pula soal kehamilannya yang tak kunjung tiba, padahal dia sudah kawin lebih dari dua tahun.
    Ketika Narsih menceritakan semuanya itu, tak terasa air matanya meleleh, dan akhirnya tersedu. “Aku kepingin mempunyai suami seperti papa Wawan. Istrimu sangat beruntung ya pa, mendapatkan suami seperti kamu. Tapi, aku nggak mau mengganggu kehidupan rumahtangga papa. Aku hanya ingin ikut merasakan kasih sayang papa yang tulus padaku. Tak lebih.”, katanya. “Jujur aku katakan, Narsih juga selalu ingin berhubungan seks yang nikmat. Aku nggak pernah mendapatkan kepuasan sejati dari suamiku yang kasar itu. Mungkin aku hiperseks karena aku nggak pernah merasa puas. Terus terang, dulu sebelum ketemu papa Wawan, aku sering mempermainkan kemaluanku sendiri untuk mendapatkan kepuasan. Itu pun nggak selalu berhasil. Jadi pa, aku sangat berterima kasih padamu, karena setiap berhubungan dengan papa aku selalu bisa orgasme. Terima kasih pa”, katanya lagi sambil mengusap air matanya dan merebahkan diri ke pangkuanku. Sambil menghapus air matanya dengan tangan dan jilatan lidahku, aku menjawab: “Narsih, kamu jangan memujiku berlebihan. Rumput di halaman tetangga selalu kelihatan lebih hijau.”
    “Ah, nggak juga pa. Aku sudah pernah berpacaran dengan orang lain, dengan teman sekolah ketika di sekolah perawat dulu, atau dengan mas Totok tetangga di depan rumah itu. Semuanya nggak ada yang punya sikap seperti papa. Juga, maaf, aku mau terus terang lagi, aku sudah pernah main seks ketika berpacaran dengan mas Totok beberapa kali, tapi toh aku belum pernah merasa puas seperti yang kualami dengan papa.”, jawabnya. Aduh, senangnya bukan main aku mendengar kata-kata Narsih seperti itu.
    Rambut Narsih kuelus dengan lembut. Narsih masih berbaring dipangkuanku di sofa. Malam makin larut dan dingin. Birahiku timbul kembali. Dengan perlahan kuelus susu Narsih dibalik daster yang tak berBH itu. Narsih pun menggeliat. Dadanya diangkat dan bibirnya direkahkan ingin kucium. Tak ayal kusambut bibirnya yang basah itu, dan kulumat dengan penuh nafsu birahi. Tali dasternya kembali kubuka dan susunya kuremas-remas. Tanganku yang lain menyusur kakinya ke atas dan ketika sampai di lipatan vaginanya, jariku kuelus kedalam liangnya yang sudah kembali basah dan licin. Sebaliknya Narsih mulai mencari kontolku dibalik celana kolor yang kupakai. Tangannya dimasukkan ke balik kolor itu, dan kontolku mulai dipermainkannya dengan trampil. Aku tak tahan, lehernya kucium. Narsih mengerang lagi seperti biasanya, “Aaaachhhh paaaaah … eeecch ..ssh …”. Mendengar itu aku makin panas, seluruh lehernya kujilat, dan kuberi cupang merah di bagian kiri lehernya. Aku berani memberi cupang, karena toh selama seminggu ini Narsih pasti nggak akan ketemu suaminya.
    Narsih menarik kontolku keluar dari kolor, kemudian diciumnya kontolku dan dijilat-jilat setengah dikulum. Kenikmatan mulai terasa. Narsih mulai pintar mengulum kontol. Aku segera berputar mengarahkan mulutku ke vagina Narsih dan sambil kontol masih tetap dikulumnya. Tanpa melepas dasternya lidahku kujulurkan ke tempik Narsih, dan kuisap liangnya yang berlendir itu. Narsih melepas isapan pada kontolku mengerang, “Paaaah, aaaarrrgghhh paaah … eeenaaaak paaaah ….”. Tak kupedulikan erangannya, kucari kelentitnya dan kuisap pula, sambil satu jariku kumasukkan ke vaginanya untuk mengorek dinding dalam depannya. Narsih menggeliat tak teratur dan makin menjerit, “Paaah … sudaaaah paaaah … aku nggaaaak kuuuaaaat …. Suuudaaaah …”. Rupanya dia terangsang hebat. Aku masih tak peduli. Korekan jariku kuteruskan ritmis, dan mulutku berpindah ke paha dalamnya, kujilat-jilat menyusuri sepanjang paha ke atas bawah dan sedikit kugigit kecil. Gelinjang Narsih makin menghebat, kontolku sudah dilepas, dan tangannya meremas kuat kain pinggiran sofa, “Aaach paaa, aaaayooo paaah… masukkan saja, aku nggak tahaaan … paaaah …”.
    Kasihan juga mendengar erangannya itu, kuputar tubuhku sambil melepas t-shirt dan kolorku (terasa sekali dinginnya hawa pegunungan), Narsih pun membuang dasternya. Di sofa itu pula kulebarkan paha Narsih, kumasukkan kontolku tanpa ampun ke tempiknya. Narsih mendesah kenikmatan, juga aku, “Ssshhhhh, Narsiiiih …”.
    “Paaaah … aku jangan ditinggal ya paaaah … papah masih sayang Narsih paaaaah? …. Oooooccchhhh iiiichh …”, desah Narsih sambil pantatnya diangkat sehingga kontolku makin tandas masuk ke dalam tempiknya yang sempit enak itu. “Yaa Siiiih, aakuu … aakuu maakiin sayaaang kamuu … kamu eeenaaaak … “. “Paaapaaah ….”.
    Aku yakin erangan Narsih terdengar di luar karena begitu kerasnya tak terkendali.
    Posisiku sedikit kuubah, aku agak duduk dengan satu kaki kutaruh di lantai dan kaki lain kutekuk lutunya, pantat Narsih sedikit kuangkat dan kutahan dengan tangan. Gerakan kontol kukontrol penuh dengan memaju-mundurkannya dibantu tanganku yang memaju-mundurkan pantat Narsih. Aku bisa melihat masuk-keluarnya kontolku di tempik Narsih. Karena sempitnya tempik Narsih, maka ketika setiap kontolku kutarik keluar, bibir depan vagina Narsih ikut tertarik keluar. Begitu seterusnya. Pemandangan asyik itu jelas makin menaikkan birahiku ke ubun-ubun. Narsih makin terengah-engah. Jeritannya makin menjadi-jadi, “Oooooiiichhh paaaah, ayo cepet paaah, goyang cepeeet paaaah ….”. Tangan Narsih makin mencengkeram kuat pinggiran sofa menahan birahi. Tangan kiri kupakai meremas susunya yang bergoyang-goyang indah. Narsih menggeliat dan merintih, mulutnya terus mendesis dan matanya terpejam. Kepalanya mulai bergoyang juga. Aku kembali merebahkan dadaku padanya, dan kuhangatkan tubuhnya, kedua tangannya sekarang mencengkeram punggungku, tanganku ikut melingkari punggungnya. Kontolku terus kukocok sambil kugeserkan pangkalnya ke kelentit yang terasa menegang. Keringat kami mulai bercucuran, sehingga melicinkan gesekan kulit dari dada sampai ke pubis. “Aaadduuuuh paaaah, kamuu … eeeenaaak …. Paaaah …”. “Kamu juga Siiiiih …”.
    “Aaaayooo paaaah bikinkan anak paaaaah ….. aaakuuu pingin anaaaak paaaah …”. “He’eeh Siiih … kubikinkan anak Siiih …”.
    Narsih memindahkan tangannya dari punggungku, ganti dia pegang kedua paha belakangnya dengan kedua lutut ditekuk, sehingga selangkangannya terbuka lebar-lebar. Dia rupanya sudah begitu enak menikmati permainan itu. Tempiknya terus digoyang-goyang. “Paaaah …. Aaakuuu eeenaaakk sekali …. Teruuuus paaaah …. gooooyaaang Narsih teeeruuuus paaaah … ooooccchh … Yaaa … aaampuuuuuun …. oooooooocchhhh …. ”
    Tapi, kali ini kontolku agak tahan, belum ada tanda-tanda orgasme. Masih di sofa, posisi Narsih kubalik, dia di atas aku di bawah. Dengan tertelungkup, kedua paha Narsih kulebarkan, dengan satu kakinya menyentuh lantai. Dengan lutut sedikit kutekuk aku masih sanggup mengontrol gerakan. Dengan posisi itu rupanya Narsih lebih enak. Buktinya gerakan kocokan vaginanya makin cepat, aku pun menaik-turunkan kontolku sambil kedua tanganku memaju-mundurkan pantat Narsih. Narsih makin cepat saja bergoyang, “Aaaaaah paaaah … akuuu muuuulaaaai saaaampaaaai lagiiii paaaah …. “. “Teruskaaaan Siiiih, akuu juga enaaak …. , desisku yang memang merasa enak juga.
    “Aaaayoooo paaaah … paaah aaaakuuuu saaaampaaaai paaaah ….”, betul-betul Narsih sudah sampai secepat itu setelah posisinya di atas. Dia menggeliat dan merebahkan seluruh tubuhnya yang berkeringat banyak ke tubuhku, padahal udara sedingin ini. Sayang, aku belum orgasme. “Aaaduuuh paaaaah, aku sampai duluan, padahal papa belum apa-apa. Nggak apa-apa ya pah …?” “Nggak apa-apa Sih, nanti juga kamu bakal kugarap habis-habisan supaya aku bisa orgasme habis-habisan juga”. “Ih, papa jahat …”, katanya tetap di atas tubuhku sambil mencubit pantatku, lalu dia mencium bibirku lembut.
    Agar tak kedinginan, kuajak Narsih masuk kamar. Dan kami kembali berselimut sambil tetap bugil berpelukan berhadapan, sekali-sekali berciuman mesra. Tidurlah sayangku, tidurlah …
    Kami tertidur sampai pagi.
    Agar dingin tak terlalu menyengat, semua lampu kamar, yang tadi malam hampir semua kumatikan, kali ini kunyalakan sehingga suasana terang benderang.
    Dari kamar mandi kami berpelukan rapat lagi, masih bertelanjang bulat di bawah selimut. Hawa dingin menerobos masuk ke dalam kamar. Hawa seperti ini, ditambah dengan pergesekan tubuh kami yang telanjang, membuat nafsu birahi kembali menggelegak, apalagi pada permainan kedua tadi malam aku belum orgasme, sehingga aku berhasrat melampiaskan ‘dendam’ di subuh yang sangat dingin ini.
    Aku mulai menciumi bibir Narsih sambil menggeser-geserkan dada kami yang telanjang, selangkangan kami saling bergesekan, kontolku langsung bersentuhan dengan bibir vaginanya, sehingga kontolku terbangun kembali dengan sempurna. Narsih juga sudah terangsang, lidahnya mulai mencari langit-langit mulutku. Tanpa sadar selimut kami sudah terjatuh sehingga tubuh-tubuh bugil kami tak tertutup apa-apa lagi. Ketika kulihat cermin besar di sepanjang lemari dinding, makin menggelegaklah nafsuku, melihat tubuh-tubuh bugil kami yang saling berpelukan tertampang jelas di cermin itu. Narsih melihat itu agak tersipu, tapi rupanya dia juga makin terangsang, buktinya, lipatan selangkangannya makin digesekkan pada selangkanganku yang kontolnya sudah ngaceng.
    Aku menindihnya kembali sambil terus menggesekkan bagian tubuh kami, rasanya enak, apalagi udara begitu dingin. Narsih sudah mengangkangkan pahanya lebar-lebar. Aku gesekkan terus kontolku ke permukaan bibir tempiknya. Cukup lama. Narsih sudah merintih. “Paaah …. Masukkan saja paaah ….”. Tanpa kulakukan manipulasi lagi pada susu, tempik dan kelentit, birahi Narsih sudah sampai di puncak. Udara dingin itulah rupanya yang menyebabkannya.
    Segera saja kumasukkan kontolku pelan-pelan ke dalam tempiknya yang sudah basah (betul juga, Narsih sudah terangsang berat). Dan agar agak sensasional, aku bergeser sambil memegangi pantat Narsih agar kontolku tak terlepas dari vaginanya, lalu kusandarkan punggungku pada pinggir bagian kepala tempat tidur sedikit terduduk, kakiku kuselonjorkan, sehingga Narsih duduk di pangkuanku dengan kontolku terbenam pada tempiknya. Narsih kuminta bergerak maju-mundur yang kubantu dengan gerakan tanganku pada pantatnya. Sementara mulutku menjilati kedua puting susunya yang persis ada di depan wajahku. Narsih, lagi-lagi mulai mendesis, “Ooooooh paaaah …. Aaaaduuuh ….. “. Sementara kami bergoyang maju-mundur, kulirik cermin besar di lemari dinding. Aduh, menggairahkan sekali. Kira-kira kalau adegan ini difilmkan, rasanya akan laku keras, sebab si wanitanya manis dan begitu seksi dengan tubuh yang merangsang nafsu lelaki mana pun. Gerakannya pun pasti membuat siapa pun akan tidak tahan lama untuk segera ejakulasi.
    “Narsih, lihat itu di cermin, kamu seksi banget …”, kataku. Narsih melihat cermin, dan tanpa kuduga, dia melenguh dan mempercepat gerakan maju-mundurnya yang disertai gerakan memutar permukaan pubis atasnya agar kelentitnya langsung bergesekan dengan pangkal kontolku, tangannya makin erat merangkul leherku, “Aaaaaah paaaah … aaaaah …. Iiiichhh paaaah …”. Mungkin akibat melihat bayangan menggairahkan di cermin itu, Narsih tambah bernafsu. Aku ikut memutar pinggulku sehingga pangkal kontolku bisa bergesekan langsung dengan permukaan kemaluan Narsih bagian atas. Aku merasakan betapa nikmatnya posisi ini. Tanpa sadar aku telah mencupang beberapa tempat di sekitar pentil susu Narsih, baik susu kanan mau pun kiri. Biarin, pikirku. Beberapa cupang merah-biru di tubuh Narsih makin membuat nafsuku meninggi. Tambah seksi dan hot.
    “Aaah, Narsiiiih …. Kamu hebat!”.
    “Papah yang hebat … ooooooh paaaah …..”, erang Narsih.
    Posisi ini tak bertahan terlalu lama, karena membutuhkan enersi yang cukup besar. Narsih kubaringkan kembali miring membelakangiku menghadap cermin lemari dinding. Lalu, selangkangannya kurenggangkan lebar, dan kontolku kumasukkan dari belakang. Bayangan di cermin makin membuatku bernafsu, sebab dari cermin itu kami bisa melihat keluar masuknya kontolku ke tempik Narsih. Tanganku yang bebas kupakai untuk meraba dan menggesek-gesek kelentit Narsih, sedang mulutku melumat leher samping dan telinganya. Merasakan perlakuan yang makin merangsangnya itu, Narsih tanpa sungkan berteriak keras di pagi subuh itu, “Oooooiiihhhhh paaaaah, aaaakuuuu eeeenaaaak paaaaaaaaaah …… paaaaah eeenaaaak ….. masukkan semuaaanyaa paaaaah …. seeemuuuaaaaa …”.
    “Siiiih … aakuuu cinta kamuuu Siiiih …. Hhhh hhhhhhehhh …”, bibirku mendesis keenakan.
    “Iiiyaaaa paaaah …. Aaaakuuuu ciiintaaaa paaaapaaah … akuuuu cintaaa … oooooochhhh … paaah”.
    Dari leher, lidahku turun ke punggung, kujilati dan kugigit yang bisa kugigit. Punggungnya menjadi merah-merah juga. Kali ini hampir seluruh bagian tubuh Narsih terlukis bekas gigitan dan cupangku merah-biru. Di leher ada cupang di bagian depan dan samping , di daerah susu kanan dan kiri, di pangkal paha bagian dalam, di punggung atas dan tengah. Saya nggak tahu bagaimana nanti Narsih menyembunyikan cupang yang ada di lehernya dari penglihatan teman-teman sepelatihannya di Mg.
    “Paaaah, aaaakuuuu saaaampaaaai laagiii … paaaaah …. Ooooooh … aaaah … paapaaaah …”, tiba-tiba dia mendesah keras sambil menggelinjang meregang. Lemas. Oh, Narsih sudah orgasme duluan, padahal rasanya aku hampir juga.
    Aku tidak mau kehilangan momentum lagi untuk orgasme, aku ingin secepatnya orgasme juga. Maka, tak peduli Narsih sudah lemas karena orgasmenya, dia kuangkat dan kubaringkan telentang ke atas tubuhku dalam posisi membelakangiku. Kontolku yang masih tegang tetap menerobos tempiknya dari belakang. Narsih yang sudah lemas itu kukocok tempiknya dengan kontolku yang makin liar. Aku lihat bayangan di cermin, makin asyik adegan itu, terlihat betapa indahnya tubuh Narsih di atas tubuhku telentang sambil susunya kuremas dari belakang dan kontolku masuk maju-mundur dari belakang, kepala Narsih terkulai ke belakang dengan jari-jari meremas seprei kasur, sambil mulutnya kulumat dengan mulutku dari samping. Ah, menggairahkan sekali …
    Narsih hanya bisa bergumam lirih, “Hhhhhehhh hhhh sssshh …. Paaaah … paaaah … aku nggaaak kuuuaaaat paaaah ….”. Kurasakan tempiknya berdenyut-denyut, sehingga kontolku pun merasakan enaknya dipijat-pijat.
    Remasan tangannya pada seprei makin menguat, sampai seprei itu tertarik. Dalam hatiku, apakah Narsih mulai bernafsu kembali?
    Ternyata benar, pantatnya digerakkan maju-mundur sehingga kontolku seperti diperas-peras, “Oooooh eeenaaaak Siiiih …. Betul begitu Siiiih ….”. Narsih makin bergoyang tidak hanya maju mundur, juga berputar-putar. Sementara kontolku bergerak dari belakang, tanganku mengucek klitorisnya lagi dari depan. Terus kuucek. Narsih menggelinjang kembali dengan kerasnya, seprei makin tertarik. “Ooooooh paaaah … kamu jaaahaaaat paaaah …. Eeeenaaaak paaaah …. Oooooh ….”.
    Aku sudah mulai tak tahan. Rasa geli sudah melanda sekujur tubuhku. Akhirnya aku mendesah keras ketika air maniku memuncrat ke dalam tempik Narsih, “Naaaaarsiiiiih … aakuuuu keluuuaaaar ….. hhhheh hhhhh ….”. Narsih juga ikutan meregang dan mendesah, “Paaaah …. Aaaakuuuu juuugaaaa …. Oooooooohhhhh …. Terima kasih paaaah ….”.
    Kedua tubuh kami melemas tak bertenaga lagi. Kontolku lepas dengan sendirinya dari tempik Narsih, sementara masih memuncratkan spermanya di luar sehingga membasahi jembut dan paha Narsih, juga meleleh di seprei.
    Segera Narsih kubaringkan ke sampingku dan kupeluk lagi erat-erat sambil kuciumi dahi, pipi dan bibirnya dengan rasa sayang yang tak terhingga. Semalaman ini aku telah merasakan kenikmatan yang tak ada taranya.
    Hari sudah mulai terang …
    Sepagian kami bercengkerama dan bercumbu sambil menikmati pemandangan alam sekitar lewat jendela kamar yang kubuka lebar-lebar. Beberapa kali di hari itu kami bergelut memadu cinta sepuasnya. Dan siangnya, setelah matahari mulai turun, Narsih dengan berat hati kuantar ke terminal bus kembali ke Mg.
    Sejak tahun ketiga masa dinasku di puskesmas itu, aku tinggal sendirian di rumah dinas, keluargaku (istri dan anak) tinggal di rumah yang kami beli di S, agar istri tidak kecapekan pulang pergi ke kantornya yang berada di S. Sebelumnya, anakku lebih banyak dibawa neneknya yang tinggal di J. Selama sisa masa dinasku itu, aku jadikan Narsih sebagai pengganti istriku.
    Selama ini perselingkuhanku aman-aman saja, meski ada staf priaku yang agak-agak curiga, karena dia hampir memergokiku menggeluti Narsih di kamar tidur rumahku pagi hari sebelum jam kantor buka.
    Di pagi hari itu, seperti biasanya, ketika suami Narsih sudah pergi ke pabrik, pembantuku belum datang (biasanya pukul 7), seperti hari-hari sebelumnya Narsih ke rumahku menemuiku untuk meminta ‘jatah sperma pagi’, tetapi agar tidak mencurigakan dia membawa makanan untuk sarapan buat, sebab pembantu rumahtangganya memang diminta istriku untuk menyediakan sarapan pagi buatku setiap hari. Biasanya dia datang ke rumah sudah memakai baju dinas melalui pintu belakang.
    Pagi itu, begitu datang langsung kuajak masuk ke kamar tidur (ada dua tempat yang biasa kami pakai ngeseks, yaitu kamar tidur atau kamar periksa). Kedua pintu rumah, belakang dan depan, tak pernah kututup kalau Narsih ke rumah, agar tidak membawa kecurigaan orang lain.
    Untuk kegiatan ’seks harian’ seperti ini kami tak banyak melakukan foreplay, sebab waktunya sempit dan situasinya tak aman benar.
    Begitu masuk ke kamar tidur, pintu kamar kukunci, dan langsung Narsih kupeluk dan kuajak tiduran di ranjang, rok bawahnya kusingkap jauh-jauh ke atas, sehingga tempik Narsih terpampang indah (seperti biasanya, Narsih datang tanpa bercelana dalam, celana dalam di simpannya di saku rok, dan baru dipakai menjelang pulang). Hari itu aku hanya memakai sarung dan kaos oblong. Sarungku dan celana dalamku kulepas, sedang kaos oblongku kusingkap saja sampai ke leher, kemudian kutindih Narsih yang sudah merenggangkan selangkangannya lebar, lalu kontolku yang sudah siap menunggu, tanpa berlama-lama kumasukkan ke dalam liangnya. Kancing kemeja dan BH Narsih kubuka tanpa kulepas, kuremas tetekya dan kulumat bibirnya, sampai dia merintih lirih, “Aaaaaacchhhh paaaah … cepeeeet kooocoook yaaang …. Cepeeet … “. Kontolku kugerakkan dengan irama beraturan sementara nafasku memburu.
    Karena terburu waktu, aku dan Narsih tak terlalu lama mencapai orgasme (menurut pengalamanku, stress, misalnya akibat desakan waktu, ternyata bisa berperan dalam mempercepat datangnya orgasme, tapi pada penyebab stress lain kadang-kadang justru sebaliknya), kurang lebih setelah sepuluh menit. “Aaaaahhhh Siiih, aaakuuu keeluuuaaar … “, desisku lirih. Badanku mengejang, yang diikuti dengan mengejangnya tubuh Narsih. “Aaaakuuu juuuugaaa paaaah …. Hhhh hhhhh sssshh … iiicchhh ….”. Aku menciumnya kembali, dan sejenak kubiarkan semprotan maniku beberapa lama di vaginanya. Denyutan otot tempiknya terasa di ujung kontol. Aku hampir selalu puas dengan Narsih, sebab Narsih cepat orgasme, padahal menurut pengakuannya dia sukar terpuaskan oleh suaminya, sehingga dulu aku cukup cemas bakal sukar memuaskannya.
    Setelah beristirahat sejenak dengan kontol yang kubiarkan tetap berada di liang tempiknya, kubantu dia membersihkan tempiknya dari lelehan spermaku dengan tissue.
    Narsih segera merapikan pakaiannya, tetapi toh tampilan wajahnya tidak sempurna betul karena ada bekas jilatan lidahku. Kemudian kami keluar dari kamar. Tapi, astaga … begitu aku mengantarkan Narsih ke luar dari pintu belakang, kami ketemu salah satu staf priaku Joko. “Oh, mbak Narsih … “, katanya, sedikit curiga karena melihat Narsih ada di rumahku sepagi itu dengan rias wajah yang tak sempurna, apalagi melihatku di rumah hanya pakai kaos dan sarung yang tak terpakai rapi. Sambil gelagapan, Narsih menjawab, “Oh .. eh, dik Joko … eh … saya mengantar sarapannya pak dokter. Biasa tiap pagi dik … Perintah ibu boss … hihihi ..”, sambil ketawa kecut. Narsih bergegas meninggalkan rumahku. Ternyata Joko kebetulan pagi itu ke rumah guna minta bantuanku mengobati ayahnya yang sakit cukup parah di rumahnya. Untungnya, Joko nggak datang ketika aku masih asyik bergelut dengan Narsih di dalam kamar. Juga, cukup beruntung bahwa yang curiga adalah Joko, sebab seorang lelaki biasanya tidak mudah mengobral rumor seperti halnya perempuan (maaf ya buat kaum perempuan … ).
    Sejak itu aku lebih berhati-hati ketika bergelut dengan Narsih di rumah. Aku lebih sering menggunakan kamar periksa dan menyetubuhinya di atas bed periksa yang walau sempit dan tinggi, tetapi sedikit lebih aman.
    Yang terang, aku nggak pernah menghentikan kebiasaanku bercinta di pagi hari, kecuali kalau ada halangan yang berarti, misalnya sedang menstruasi, atau keadaan tak memungkinkan karena misalnya suaminya ada di rumah. Itu menjadi tugas rutinku, selain karena aku menginginkannya, itu juga kebutuhan Narsih sendiri. Pokoknya kami berdua sudah bak suami-istri dalam persoalan seks. Menurut pengakuan Narsih, dia pusing kalau tak sempat bersetubuh denganku, sekali pun malam harinya dia sudah disetubuhi suaminya habis-habisan.
    Di kemudian hari, yang membuat kebiasaan rutin kami bersetubuh di rumah bisa berlangsung dengan lebih mulus, adalah karena bantuan pembantu Narsih. Pembantu Narsih bernama mbok Nah, seorang janda yang sudah agak tua, antara 55-60 tahun. Begitu dekatnya Narsih dengan mbok Nah (dia sudah ikut sejak Narsih masih gadis, ketika baru tinggal di rumah dinasnya), sehingga hampir tidak ada rahasia Narsih yang tidak diceritakannya ke mbok Nah, termasuk perselingkuhannya denganku. Mbok Nah senang dan menyetujui perselingkuhan itu, dan dia sangat membantu kami untuk melampiaskan hasrat seksual di hampir setiap pagi itu, dengan cara menunggui kami yang sedang bersetubuh di luar kamar dan sekaligus mengawasi dan menyamarkan kami kalau-kalau ada orang datang ke rumah. Sulit dipercaya, tapi nyatanya begitu.
    Cuma, memang, persetubuhan di rumah tak pernah memuaskanku 100 persen, sebab situasinya tak bebas, sehingga kami tetap mencari peluang untuk bercinta di tempat lain yang jauh lebih aman.
    Anehnya lagi, Narsih tak kunjung hamil, padahal sudah milyaran spermatozoaku yang normal menyerbu rahim dan ovariumnya. Tak adakah spermatozoa yang mampu menembus ovumnya? Padahal, aku dan Narsih sangat menginginkan seorang anak, buah cinta kami. Pernah Narsih kuminta memeriksakan diri ke seorang dokter obgyn, dan dia dinyatakan normal.
    Ada beberapa kali pengalaman menarik yang berhubungan dengan ’seks radio’. Aku dan Narsih masing-masing memiliki radio komunikasi handy-talky (HT).
    Di suatu siang, setelah makan dan sholat, sambil bersarung tanpa baju, aku berbaring di tempat tidurku. Aku melamun. Tiba-tiba muncul ide di benakku untuk bermain seks jarak-jauh dengan Narsih (jadi, sejak dulu aku sudah memelopori semacam ‘cybersex’ itu jauh sebelum aktifitas ini populer). Kuhidupkan HT-ku, aku menuju frekuensi tempatku biasa mojok dengan Narsih (pada frekuensi yang sangat rendah), tanpa antena terpasang. Kupanggil-panggil Narsih. Setelah beberapa lama, Narsih merespons panggilanku. Aku tanya dia, apakah suaminya sudah datang. Ternyata belum. Lalu kuminta Narsih membawa HT-nya ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
    “Narsih, mau nggak kamu membuka pakaian sekarang sampai telanjang?, mintaku. “He, apa-apaan pa? Sinting kamu pa.”, sahutnya.
    “Sudahlah, mau apa enggak? Kalau mau, ayo, buka saja semua pakaianmu, dan tiduran di ranjang, sambil terus memonitorku. Aku di sini sudah telanjang lho.”, kataku sambil melepas sarungku sampai aku telanjang bulat sendirian di tempat tidur. “Iya deh, aku buka baju ya.”, sahutnya lagi di seberang sana.
    “Sudah pa, aku sudah telanjang bulat-lat … Malu, ah, pa”, katanya genit, “Terus ngapain?”.
    “Nah, kalau sudah, raba dan remas susumu dengan tangan satumu seolah-olah yang meremas itu adalah tanganku. Pokoknya anggap aku ada di sampingmu sekarang ini, dan anggaplah aku lagi menggumuli kamu. Aku juga anggap kamu ada di bawahku kutindih dan kugeluti. Ayo, Narsih. Hhh ssssshh hhhhehhhhh ….”, aku mulai mendesis sambil tanganku yang satu mengelus kontolku sendiri.
    “Yaaah paaaah, aku sudah meremas susuku paaaah. Ssssshhh ….”, desah Narsih.
    “Terus Siiih, kalau mendesah, mendesahlah yang keras. Aaaah Siiiih, mulai eenaaak Siiih … “. “Aku juga paaaah, aaakuuu eeenaaaak paaaah … , sssshh. Aaakuuu masukkan ke lubang Narsih yaaaaang … Eeenaaak ….”, mulai terdengar rintih Narsi. Walau tanpa melihat, aku yakin Narsih mulai menggosokkan jarinya sendiri ke tempiknya, sebab dulu sebelum ketemu aku, dia mengaku sering bermasturbasi. Membayangkan hal itu dan membayangkan bagaimana tubuh bugil Narsih yang indah menggeliat, aku makin terangsang, “Hhhhhh sssshhhh ssss Siiiih, aaakuuu terangsang Siiih … teeeeruuuusss Siiih ….”. “Iii iiiyaaaa paaaah .. aakuu teeerusss … Kaamuu juugaaaa teeerusss paaaah … aaaacchhhh ….”, sahutnya di sana.
    “Teeeruuus Siiiih …. Kontolku terasa eeenaaak Siiiih ….”. “Aaaaah paaapaaa, aakuuu pingiin kontolmu paaaah … maasukkan paaaah ….. aakuuu suudaaah basaah paaaah … sssshhhhh … paaaah … “, Narsih terus mengerang.
    Birahiku makin terangkat ke atas ubun-ubun, “Siiiih … akuu tambah eenaaak Siiiih …. Kumasukkan dalam-dalam ke lubangmu ya Siiiiih ….”. “Iiyaaa paaaah …. Aaakuu .. akuu suuudaaah nggaaak taaahaaan paaaah … masukkan paaaah ….”. Aku membayangkan kontolku mengocok liang vagina Narsih, “Siiih, kukocok teruus ya Siiiih …. Kaamuuu eeenaaak Siiih … “. “Paaah … kaaamuuu juuugaaa eenaaak paaaah …. Aaaargggghhhh paaaaah … koooocoook paaaah …. Aaakuuu maaauuu saaampaaaai paaaah … kooocoooooooook laagiiiiiii ….. oooochhhh … “, kudengar teriak Narsih di telingaku.
    Mendengar desahan dan rintihan yang merangsang seperti itu, aku sudah merasa nggak tahan, aliran nikmat di ujung kontolku mulai terasa memuncak, “Aaaaah Siiiih … aaakuuuu hampiiiir …. Siiih … “. Di seberang sana Narsih merintih juga, “Aaaakuuu juugaaa paaaah … aayoooo sama-samaa paaah … oooochhh … saaayaaang … “.
    “Aaaduuuh Siiiih … aakuuu keeeluuuaaaar Siiiiih …. Hhhhhh ssssshhh hhhh ….”, tiba-tiba air maniku memuncrat-muncrat ke atas, membasahi tanganku, perutku, dan sebagian ada yang memuncrat jauh ke seprei kasur. “Ooooiiiiiccch yaaaaang … Narsih juuugaaaa paaaah … paaaaah eeenaaak ….. akuuu saaampaaaiiii … hhhhh ooooiiiccch ….”. Dan, suara Narsih menghilang, rupanya HT-nya terlepas dari tangannya. Tanganku terus mengocok dan memijat-mijat kontolku yang masih berdenyut dan mengeluarkan sisa-sisa spermaku. Aku puas.
    Tiba-tiba, suara Narsih memanggil di HT-ku, “Pa, terima kasih, aku puas sampai lemes pa. Ini pengalaman pertama bagiku. Kamu juga puas pa?”
    “Ya, Sih. Aku sangat puas. Kamu pintar merangsangku di HT ini Sih. Tapi kamu pura-pura mainnya atau betulan Sih?”, selidikku, sambil masih terengah-engah. “Ah, papa koq nggak percaya sih, aku sampai lemes. Tanganku basah semua ini lho. Kalau nggak percaya papa ke sini. Kalau perlu kita lanjutkan mainnya di tempat tidurku. Ayo ke sini.”, godanya centil.
    “Kalau begitu, terima kasih ya Sih, kapan-kapan kita coba lagi. Selamat tidur siang ya sayang … “.
    Aku tertidur kecapean, masih telanjang bulat sendirian di ranjang.
    Selama hampir lima tahun aku dinas di puskesmas itu, tak terbilang lagi, sudah ratusan adegan cinta super panas antara aku dan Narsih. Aku tak pernah bosan padanya. Narsih selalu bisa menyediakan ‘menu baru’ dalam bermain seks. Aku juga banyak mengkreasi berbagai posisi dalam bersetubuh. Kami adalah tim yang kompak dan inovatif dalam bercinta. Aku selalu kangen dia.
    Hubungan intim yang panas antar aku dan Narsih kekasihku yang kusayangi ini justru berhasil meningkatkan kualitas hubunganku dengan istri. Dalam seminggu aku dua kali pulang ke S berkumpul dengan keluargaku. Kehidupan dalam keluargaku makin harmonis. Aneh? Aku berhasil menambah seorang bayi cantik yang lahir dari rahim istriku.
    Sebaliknya Narsih tidak kunjung hamil.
    Suatu hari, menjelang masa dinasku habis di puskesmas itu, aku punya janji dengan Narsih, tanpa sepengetahuan suaminya, untuk mengantarkan salah seorang adik perempuannya, Ningsih, yang akan mengikuti ujian masuk universitas di M. Sabtu sore Narsih dengan adiknya kujemput di rumah teman adiknya, dan kami bertiga langsung meluncur ke M. Sampai di M sudah malam, kami mencari hotel dan memesan satu kamar ber-AC dengan sebuah tempat tidur besar untuk kami gunakan bertiga.
    Setelah makan, kami tidur. Besok kami harus berangkat mengantar Ningsih melihat tempat ujian.
    Posisi tidur: aku di sisi luar, Narsih di tengah, dan adiknya di sisi dalam dekat dinding.
    Dini hari aku terbangun, kulihat Narsih dan Ningsih sudah pulas membelakangiku.
    Merasakan tubuh Narsih bersinggungan dengan tubuhku, birahiku timbul. Tanganku kananku rupanya tadi secara sengaja ditaruh Narsih di bawah lehernya dan jari-jariku digenggamnya. Jari-jari tangan itu kulepas dari genggamannya pelan-pelan, lalu kurabakan ke permukaan dada Narsih yang tanpa BH. Lehernya mulai kuciumi. Pelan-pelan bagian belakang baju tidurnya kusingkap ke atas sampai kelihatan pantatnya. Astaga, ternyata Narsih juga tak memakai celana dalamnya. Rupanya aku dan dia sudah sehati, sehingga tahu apa keinginan masing-masing, sehingga selalu siap bertempur setiap ada peluang.
    Celana pendekku kupelorot, dan kukeluarkan kontolku yang sudah menegang (aku sengaja tak bercelana dalam), kutempelkan pada belahan pantat Narsih. Mungkin karena kena gesekan benda hangat di pantatnya, Narsih mulai menggeliat terbangun. “Hayo, papa mulai nakal.”, katanya, masih terkantuk. “Biarin, aku kepingin banget koq.”, timpalku, sambil mulai meremas susunya dari luar baju tidurnya. Narsih jadi betul-betul terbangun. “Ssssstt, hati-hati lho … jangan sampai Ningsih terbangun. Kalau ketahuan ‘kan malu.”, katanya. “Biarin ketahuan, toh adikmu sudah tahu kalau kita pacaran.”, godaku, sementara jari tangan kiriku sudah menjelajah ke bibir vagina Narsih lewat sela-sela pantatnya. “Aaaah paaah … naaakaaal sekali kamuu paaah ….”, Narsih mulai merintih pelan. Sambil terus mengorek liang vaginanya, aku melumat bibir Narsih dari samping. Tangan kiri Narsih memijat-mijat dan mengelus kontolku dengan halus, dengan tetap tubuhnya masih membelakangiku untuk mengawasi adiknya.
    Jari-jariku yang ada di dada, langsung menyelusup ke dalam susunya melalui leher baju tidur Narsih yang rendah. Putingnya kupilin-pilin dan kuputar-putar dengan lembut. Sementara jari-jari tangan satunya mengubek-ubek liang tempiknya yang sudah licin basah, sambil sekali-kali satu jari mengelus lubang anusnya. Narsih mulai menggeliat dan mendesis sangat lirih, “Oooooch yaaaang … kaaamuuuu naaaakaaaaaal … paaaah … mmmmppphhhh hhhhh”. Dia mencoba menahan desahannya, takut Ningsih terbangun. Kelihatan Narsih agak kesukaran menahan diri, sebab kalau sedang dirangsang atau disetubuhi dia biasa berteriak cukup keras. Kasihan melihatnya. Tapi bagaimana lagi, masa’ kami bercumbu dilihat adiknya sendiri. Nggak lucu dong.
    Agar tidak kelamaan menahan birahi seperti itu, kontolku yang sudah ngaceng lama itu, kuselipkan ke bibir vaginanya dari belakang, dan tangan kiriku berpindah ke depan, mencari kelentitnya yang agak mengeras dan menggeseknya agar dia cepat orgasme. Tanganku bergerak di bawah baju tidur yang bagian depannya tetap menutupi kemaluan Narsih, agar bila sewaktu-waktu Ningsih terbangun tidak terlihat kemaluan kakaknya sedang dimasuki sebuah kontol. Kaki kiri Narsih agak diangkat dan diletakkannya di atas sisi luar paha kiriku, sehingga selangkangannya merenggang, untuk memudahkan pergerakan kontolku di dalam vaginanya. Kontolku kumaju-mundurkan dengan perlahan-lahan. Nikmat sekali rasanya. Narsih makin mendesah lirih, “Mmmmmfffhhh … hhhhhehhhh … shhhh …. Ayoooo paaaah … “. Pinggulnya pun mulai digoyangnya pelan. Asyik betul.
    Inilah pengalaman pertamaku bersetubuh dalam situasi ‘berbahaya’ yang sewaktu-waktu bisa disaksikan orang ketiga. Tetapi nafsu yang sudah memuncak seperti ini tidak banyak punya pertimbangan lain.
    Terus secara teratur kontol kukocok, maju-mundur, ke kanan-kiri, dan kuputar-putar. Aku mulai merasakan denyutan otot vagina Narsih yang masih cukup ketat. Vagina yang belum pernah dilewati kepala bayi. Vagina yang masih senikmat vagina perawan. Vagina yang membuatku selalu ketagihan selama hampir lima tahun.
    “Aaaarrgghhhh paaaah … mmmmffffhhh … hhhhh … yaaaaaang … “, Narsih terus merintih. Dia mulai tak bisa mengendalikan diri. Erangannya mulai mengeras. Tapi kulirik, Ningsih tak terbangun. Atau pura-pura tidur? Mungkin saja. Ah, peduli amat. Biarin kalau Ningsih tahu. Nafsu yang sudah di ubun-ubun, ternyata sudah tak mengenal malu lagi.
    Aku menahan diriku untuk tak mendesah. Narsih lah yang justru nggak bisa tahan.
    Permainan ini kukendalikan sepenuhnya. Kontolku masih bergerak teratur dan pelan. Jariku terus mengorek bagian depan bibir vagina dan kelentit bergantian, sedang dada Narsih terus kuremas dan kugosok. Telinga belakangnya kujilati dengan lidahku. Posisi terus kupertahankan seperti itu, sebab tak mungkin menerapkan posisi lain.
    Narsih merintih agak keras, “Paaaaah … akuuuu suuuuudaaaah nggaaaak taaahaaaan … mmmfhhh ssssh sshhhhh hhh …. Papaaah … “. Goyangan pinggulnya makin tak beraturan. Narsih menggeliat, dengan tangan kirinya mencengkeram paha kiriku kuat-kuat.
    Agar tak terlalu ribut. Ibu jari kiri ku kumasukkan ke mulut Narsih. Seperti bayi, jempolku dikulumnya kuat-kuat, sambil mendesah terus, “Mmmmmfffhh … mmmmfhhh … aaaacchhhh iiiichhhh … “.
    Kontolku terus kukocok. Belum juga orgasme.
    Narsih makin liar. Kepalanya bergoyang-goyang seperti orang kesakitan. Tangan kanannya menarik seprei, sehingga tubuh Ningsih di sampingnya agak bergoyang sedikit terseret. Gelinjang Narsih makin menghebat. Narsih betul-betul liar, rupanya dia tak terlalu peduli lagi ada adiknya di sampingnya. “Aaaaachhhh paaaah … mmmmmmfffh …. Hhhh ….”.
    Melihat Narsih makin liar seperti itu, aku makin terangsang. Gerakan kontolku kupercepat, dan kuputar dan sekali-sekali kubenamkan dalam-dalam ke dasar vaginanya. Aku mulai mendesis, “Hhhhhhh … hhhhh … ssshhhhh … “.
    Mendadak, Narsih setengah berteriak melepaskan ibu jariku dari mulutnya, “Paaaah … aaakuuuu ….. suuuudaaaaaah ….. suuuudaaaaah …. Hhhhhhh sssshhhh … paaaaah ….”. Cepat-cepat mulutnya kubungkam dengan bibirku agar teriakannya tak berlanjut. Paha kiriku dicakarnya kuat, dan, astaga … seprei tempat tidur dicengkeramnya kuat sehingga tubuh adiknya tertarik sampai punggungnya bersentuhan dengan tanganku yang sudah kembali meremas susu Narsih. Pikirku, mustahil Ningsih tak terbangun.
    Merasakan denyutan kuat tempik Narsih pada saat orgasme itu, aku hampir bersamaan mencapai saat yang paling nikmat itu. Air maniku menyemprot kuat di dalam vagina Narsih. Pantatnya kutarik kuat ke belakang sehingga kontolku bisa betul-betul terbenam di dalamnya. Aku pun sudah tak peduli kalau Ningsih ternyata tahu apa yang kami lakukan. Aku ikut melenguh, “Aku keluuaaaar Siiiih … aaah eenaaaak … hhhhh … “. Narsih terengah-engah, masih dipelukanku. Seperti biasanya setiap mengakhiri persetubuhan, kukulum bibir Narsih dengan rasa sayang. Jari-jari tangan kanannya kugenggam mesra dengan jari-jari tangan kiriku.
    Sejenak beristirahat, kukenakan lagi celana pendekku. Kemudian kuambil tissue di meja, dan kubersihkan vagina Narsih dari lelehan spermaku. Narsih mencubit tanganku dengan tersenyum sambil bergumam lirih , “Kamu bener-bener nakal pa. Sinting … “. Aku tertawa kecil mendengarnya.
    Aku tidur kembali.
    Paginya kami antar Ningsih ke kampus sebuah universitas di M untuk melihat tempat ujian masuk. Ningsih kelihatan biasa saja, dan dia bisa ngobrol tanpa kikuk baik denganku mau pun kakaknya. Aku merasa lega. Rupanya Ningsih tak tahu apa yang kulakukan bersama kakaknya tadi malam.
    Setelah dari kampus, kami antar Narsih ke tempat kos adik perempuan lainnya, Narti, yang kuliah di M ini juga. (Hebat Narsih, karena dia lah yang membiayai adik-adiknya belajar di perguruan tinggi)
    Ningsih ditinggal di sana, agar bisa belajar dan besok akan diantar Narti ke tempat ujian.
    Siang itu, saya dan Narsih bebas dari ‘gangguan’ adiknya, sehingga nanti bisa melanjutkan permainan cinta yang tak pernah membosankan itu. Hari Minggu ini kami merencanakan menginap lagi, dan besok Senin subuh kembali ke puskesmas untuk bekerja. Kemarin aku sudah menelpon istriku kalau akhir minggu ini aku nggak bisa pulang ke S dengan alasan ada suatu acara para dokter di hari Minggu, dan aku janji untuk pulang ke S hari Senin sore besok.
    Siang itu kuajak Narsih jalan-jalan mengelilingi kota M, kemudian kembali ke hotel.
    Sesampai di kamar hotel, Narsih tampak seperti kebingungan, dan berkali-kali kaya’ salah tingkah. Aku jadi heran.
    “Mengapa Sih, kamu koq aneh, seperti bingung?”, tanyaku. “Ah, enggak. Aku cuma ngantuk pa.”, jawabnya. Lalu dia ke kamar mandi, cukup lama, tapi kubiarkan saja. Dari kamar mandi, dia kemudian berbaring. Agak aneh, bahwa dia nggak mencium aku seperti biasanya kalau mau tidur. Tapi aku nggak terlalu memikirkannya. Kubiarkan dia tidur sampai sore. Aku menonton televisi, sampai tertidur juga.
    Sekitar pukul 4 sore aku bangun, kulihat Narsih juga sudah bangun tetapi masih berbaring. Dia kuganggu, dengan kujawil teteknya. “Jangan pa … geli … “, sambil memegang tanganku agar tidak melanjutkan pekerjaannya. “Lho kenapa Sih, marah ya?”, tanyaku.
    “Jangan kecewa ya pa. Menstruasiku datang siang tadi. Coba pa pegang selangkanganku, aku sedang pakai soft-tex Bagaimana pa, apa kita pulang saja? Soalnya ‘kan percuma di sini nggak bisa main.”, katanya.
    “Oooo, gitu toh … Begitu saja koq nggak terus terang dari tadi sih? Ya nggak apa-apa toh, perempuan itu selalu menstruasi setiap bulan, itu ‘kan wajar. Mengapa mesti pulang sekarang, apa tujuan kita ke sini cuma mau main?”, jawabku tenang, padahal dalam hatiku ya agak kecewa karena sisa waktu ini nggak bisa kugunakan untuk bercumbu seperti tadi malam.
    “Nggak apa-apa ya pa. Aku memang nggak pingin pulang sekarang, aku masih ingin semalaman bersama papa. Sebetulnya, meski pun aku sedang menstruasi, aku tetap pingin main koq pa. Sungguh, aku masih kepingin. Tapi menurut kesehatan ‘kan dianjurkan nggak usah melakukannya. Juga katanya menurut agama nggak boleh.”, ujar Narsih lagi. “Memang bener. Dusahakan menghindari main pada saat haid, kecuali kalau yakin penis dan vagina kita betul-betul bersih. Tapi kalau soal agama, kita ini sudah melanggar ajaran agama sejak lama Sih.”, kataku sambil tersenyum kecut.
    Sore itu Narsih kuajak nonton bioskop dan makan di restoran di dekat alun-alun. Sejak di dalam gedung bioskop kami bermesraan terus.
    Sepulang dari jalan-jalan kami kembali ke kamar hotel. Kulihat waktu sudah pukul 9 malam.
    Sebelum tidur, bibir Narsih kukecup sayang, sambil mengucapkan selamat tidur. Tapi, tak dinyana, Narsih memeluk leherku dan lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku dan dengan ganas lidahku dipilin-pilinnya. Tentu saja aku terangsang dengan perlakuannya, kulakukan ciuman dalam. Akibatnya Narsih mulai mendesah, “Ooooch sayaaaang …. Aku dirangsang ya yaaang ….”. Ajakan itu tak kusia-siakan. Tanganku mulai meraba teteknya, baju tidurnya kupelorot ke bawah melalui bahunya dan kedua tangannya, sehingga telanjanglah bagian dadanya. Puting susunya kusergap dengan ganas. Seluruh areola buah dadanya kuempot dan kujilat. Lekukan di antara kedua tetek, kugigit-gigit ringan. Narsih merintih cukup keras, “Aaaaach paaaah …. Aku suudaaaah terangsang paaaah …. “. Dia dengan sigap melepas kaosku. Lalu dijilatinya kedua dadaku. Satu tangannya mencari kontolku di bawah yang masih tertutup celana pendek berikat-tali. Talinya dilepas, dan tangannya menerobos ke balik celana, dirabanya kontolku, dan dipijatnya dengan lembut. Dielusnya kontolku memanjang dari buah pelir menuju glans di ujung kontol. Rabaannya bukan main nikmat, “Aaah … eenaaak Siiih ….”. Celanaku kulepas saja, agar Narsih bisa lebih bebas memanipulir kontolku, dengan harapan aku bisa orgasme melalui manipulasi tangan atau mulutnya, karena kupikir aku nggak bakal orgasme melalui persetubuhan, sebab dia dalam keadaan menstruasi. Agar aku lebih terangsang, baju tidur Narsih kupelorot dan kulepas sama sekali melalui kakinya. Tinggallah celana dalam yang masih dipakainya dengan di dalamnya terdapat pembalut wanita yang menutupi vaginanya. Keadaan itu tak mengurangi keseksiannya. Menurut pengamatanku dari waktu ke waktu tubuh Narsih makin indah saja. Teteknya makin kencang dan agak membesar, mungkin karena Narsih lebih gemuk dari sebelumnya sehingga lebih tubuhnya makin berisi. Betul-betul tubuh idaman lelaki. Kakinya yang indah masih ditumbuhi bulu-bulu agak lebat yang tak pernah dicukurnya, sehingga menambah birahi. Apalagi melihat ketiaknya yang sedikit berbulu hitam halus, ah, sungguh merangsang darah lelakiku. Perlahan mulutku menyusur ke bawah menuju pusarnya, dan kujilati lubang dangkal pusar itu. Narsih mendesah, “Oooocchhh yaaaang … geeliiiii …. Oooooch … “. Mukaku terus turun ke bawah, kulewati saja selangkangannya yang tertutup pembalut dan kujilati sisi dalam pahanya. Kontolku kugesek-gesekkan ke kedua tetek Narsih. Enak rasanya. Dibantu tangan Narsih, sambil dielus-elus, ujung kontolku digosok-gosokkannya ke pentil susunya. Aku merasa nikmat, aku ingin orgasme dengan cara begitu. “Teeruuus Siiih … gosok teruus seperti itu ya yaaang … “, pintaku. Sementara jilatan dan kenyotan ringanku pada paha mendekati lipatan selangkangannya juga makin menghebat. Akibat perlakuanku itu, Narsih menjerit, “Paaah …. Aaakuuu nggaaaak kuuaaat ….”. Tak tahan karena manipulasiku lidahku di sekitar selangkangannya, Narsih akhirnya minta, “Paaah, aku ditindih sajaaa paaaah … aaayooo paaaah …. Cepeeet … “. Kuturuti permintaannya, Narsih kutindih, dan selangkangannya kurenggangkan agar kontolku bisa berada di lipatan paha atas itu. Kucium Narsih dengan penuh nafsu. Narsih menggeliat, dengan menggesek-gesekkan selangkangannya yang berpembalut itu ke kontolku, “Aaakuuu nggaaaak taaahaaan yaaaang … “.
    Birahiku sudah tak terkontrol lagi, kontolku kucoba kumasukkan melalui sela-sela celana dalam Narsih, agar bisa menyentuh bibir vaginanya. Agak sulit masuk ke sana. Narsih rupanya juga ingin aku bertindak lebih dari itu, tiba-tiba tangannya masuk ke celana dalamnya dan disingkirkannya pembalut wanita penutup vaginanya yang berfungsi mencegah mengalirnya darah menstruasi keluar.
    “Ayoo paaaah, masuukkan saajaaa paaaah … “. Begitu penghalang itu tak ada. Celana dalam Narsih kusibak dari sisi kanan tanpa kulepas, dan kucoba masukkan kontolku ke vagina Narsih. Pelan tapi pasti dengan bantuan dorongan pinggulku, kontolku masuk ke vaginanya. Terasa agak becek memang, tetapi tetap enak. “Nggaak apa-apa Siiiih ….? Aku sudah masuk … “. “Teruuus saja paaaah … nggak apa-apa …. Oooooochhhh ….”, jawabnya sambil mengerang.
    Mendengar jawaban itu, kukayuh kontolku dalam-dalam. Becek-becek enak. Narsih makin meregang dan menggeliat, “Teeeruuuus paaah …. Gooooyaaaang …. Aaaarrrghhhhh ….. ooooch … “. Lidahku menjilati bagian leher samping Narsih, sehingga makin menggeliatlah dia tanpa beraturan. “Aaaayooo paaaah …. Teeeeruuus … sssshhhh …. Oooochhh … aakuuu cintaaa paaaapaah Waaawaaaan … ooooocchhh ….”.
    Cukup sensasional juga rasa vagina yang becek seperti ini. Denyutan otot dalam vagina Narsih mulai terasa. Ujung kontolku seperti dipijat nikmat. “Eeeenaaaak saaaayaang … aaakuu saaaayaaaang kamuu Siiiih ….. kaaamuuu eeenaaak … “, lenguhku, sambil makin keras mengocok dan memutar kontolku di dalam tempiknya. Kedua jari tangannya yang berada di kasur kugenggam sayang.
    Makin menghebatlah gerakan Narsih, dadanya menggeliat membusung, pantatnya diangkat-angkatnya sehingga ujung kontolku makin terasa ditekan-tekan enak. Satu tangannya melapas genggamanku dan ganti meremas seprei kasur, matanya terpejam dengan mulut yang merekah komat-kamit sekali-sekali merintih. Sungguh pemandangan yang menggairahkan darah lelaki mana pun.
    Akhirnya waktunya tiba, hampir bersamaan kami berdua meregang dan menggelinjang, dibarengi semprotan maniku berkali-kali ke dalam vagina Narsih yang basah oleh darah menstruasi, “Aaah Siiiih … aakuuu keeluuuuaar … “. “Oooooooch iiiiiichhhhh …. Paaaaaaaah ….. aaaarggghhhhh ….”, teriak Narsih sembari tangan satunya mencakar punggungku kuat-kuat, dan kemudian lemas terengah-engah.
    Oh, enaknya, terasa sekali denyutan ritmis otot tempik Narsih yang memijat-mijat kontolku.
    Kuciumi Narsih, dari buah dadanya yang basah oleh peluh kami berdua, sampai leher dan seluruh wajahnya.
    Seprei tempat tidur basah oleh darah menstruasi bercampur dengan air maniku yang meleleh keluar. Juga celana dalamnya.
    Ah, aku sayang kamu Narsih …
    Itulah beberapa adegan persetubuhan liar yang mengesankan antara aku dan Narsih yang penuh kasih sayang. Ratusan adegan lain yang pernah kami lakukan tentu tak mungkin cukup diceritakan di sini.
    Sekarang aku sudah tak lagi pernah bertemu dengan Narsih. Aku dengar akhirnya dia cerai dari Bakdi suaminya, dan tetap tidak punya anak. Ada kabar dari seorang teman, bahwa Narsih telah menikah lagi dengan seorang duda yang beranak tiga. Katanya, Narsih hidup cukup berbahagia dengan suaminya yang sekarang. Tempat dinasnya pun sudah pindah dari puskesmas itu.
    Sampai saat ini aku masih mengenangnya. Aku tetap merasa bahwa cinta Narsih tulus padaku. Sebaliknya juga, rasa sayangku tulus padanya. Sayang, kami tak mungkin bersatu. Di samping Narsih, aku tetap mencintai istri dan anak-anakku dengan sepenuh hati.


0 komentar:

Posting Komentar